![]() |
| Oleh : Br. Pio Hayon, SVD Dosen STPM Santa Ursula Ende |
Seperti yang dilaporkan oleh Detik.com Bali-Nusra: “Rapat DPRD dengan Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda, Rabu (17/12/2025) berakhir ricuh. Rapat dengan agenda penyampaian hak interpelasi DPRD tersebut diwarnai keributan hingga berujung pada evakuasi Bupati Ende dari ruang sidang. Dalam insiden tersebut, lambang Burung Garuda yang berada di belakang meja pimpinan rapat terkena lemparan benda dari seorang anggota dewan saat situasi memanas. Aksi tersebut terekam dalam video dan viral di media sosial.” Pertanyaan kita adalah ada apa dengan Kabupaten Ende?
Kerisuhan antara Pemerintah Daerah Ende dalam hal ini Bupati Ende dan DPRD Ende saat membahas agenda penyampaian hak interpleasi DPRD tentang efisiensi anggaran adalah potret buram wajah demokrasi lokal. Diskusi yang seharusnya menjadi ruang adu gagasan demi kepentingan rakyat justru berubah menjadi ajang adu ego dan tarik-menarik kepentingan politik. Di titik inilah Burung Garuda, simbol kebijaksanaan dan persatuan bangsa, seolah “mati terkapar” di Ende sebagai ikon kota lahirnya Pancasila.
Efisiensi anggaran bukan isu sepele. Ini menyangkut kelangsungan nasib pelayanan publik: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga kesejahteraan masyarakat kecil. Ketika pembahasan anggaran diwarnai keributan, publik patut bertanya: apakah para pemangku kekuasaan benar-benar bekerja untuk rakyat, atau sekadar mempertahankan posisi dan pengaruh? Bupati dan DPRD sejatinya adalah mitra, bukan lawan. Perbedaan pandangan adalah hal wajar dalam demokrasi, namun ketika perbedaan itu diekspresikan tanpa kedewasaan politik, maka yang lahir bukan solusi, melainkan kegaduhan. Rakyat tidak membutuhkan drama politik; rakyat membutuhkan keputusan yang jelas, cepat, dan berpihak pada kepentingan bersama.
Lebih ironis lagi, keributan ini terjadi di tengah tuntutan efisiensi pemerintah pusat dan pelbagai masalah lokal seperti masalah banjir di kota Ende dan yang lainnya. Saat masyarakat diminta berhemat, pemerintah daerah justru mempertontonkan konflik yang menguras energi, waktu, dan kepercayaan publik. Jika elite daerah gagal memberi teladan, bagaimana mungkin rakyat diajak untuk memahami kebijakan yang tidak disepakati secara dewasa?
Pertikaian Sumber Daya dan Egoisme Politik
Salah satu aspek paling mencolok dari kerisuhan ini adalah egoisme politik yang merajalela. Bupati, sebagai kepala daerah, seharusnya memimpin dengan visi dan misi yang kuat, memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa perdebatan anggaran yang terjadi lebih banyak dipenuhi ego sektoral daripada solusi nyata untuk masalah yang ada. Ketika politik lebih didominasi oleh ambisi individu, hasil yang didapat adalah kebuntuan, bukan kemajuan. Ketika bicara tentang efisiensi anggaran, seharusnya menjadi momen untuk menciptakan sinergi antara eksekutif dan legislatif. Alih-alih menemukan jalan keluar untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif, apa yang terjadi di Ende adalah pembicaraan yang berlarut-larut tanpa titik temu. Efisiensi tidak hanya tentang mengurangi anggaran, tetapi lebih pada memprioritaskan program-program yang memberi dampak langsung kepada masyarakat. Dalam situasi ini, penting bagi para pemimpin untuk mempertimbangkan tidak hanya angka, tetapi juga dampak sosial dari setiap keputusan yang diambil. Sementara para pemimpin terjebak dalam konflik, rakyat menjadi korban. Kebutuhan mendesak masyarakat akan layanan publik yang berkualitas, mulai dari pendidikan hingga kesehatan, tidak mampu terpenuhi. Ketika anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk program-program penting terhambat oleh diskusi yang tidak produktif, masyarakat yang paling terdampak. Ini memunculkan keraguan terhadap integritas para pemimpin yang seharusnya berkomitmen untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Pertikaian saat pembahasan anggaran sering bermula dari gagalnya mekanisme konsultasi dan koordinasi. Bupati dan DPRD seharusnya duduk sebagai mitra yang saling melengkapi: eksekutif merumuskan program dan kebutuhan teknis, legislatif memeriksa dan memberi legitimasi anggaran. Namun kalau dialog itu digantikan oleh retorika konfrontatif, maka proses penyusunan anggaran berubah menjadi ajang klaim dan penegasan kekuasaan. Egoisme sektoral keinginan masing-masing pihak menonjolkan kewenangan atau menekan pihak lain demi keuntungan politik menggerus fungsi dasar pemerintahan. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan lebih berorientasi pada kemenangan politik jangka pendek ketimbang keberlanjutan pelayanan publik. Retorika yang berkembang di ruang sidang sering mengklaim mewakili “rakyat” atau “efisiensi”, tetapi kenyataannya pertarungan itu kerap berkutat pada kepentingan fraksi, kelompok politik lokal, atau figur yang ingin menjaga citra dan basis dukungan. Pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh publik dan media lokal adalah: apakah keputusan didorong oleh analisis kebutuhan dan bukti, atau oleh tekanan politik dan kepentingan sesaat? Tanpa evaluasi kritis, legitimasi kebijakan tergerus. Rakyat perlu dituntut untuk menuntut: minta data, minta alasan pemangkasan atau penambahan, dan minta pertanggungjawaban pejabat yang membuat keputusan.
Krisis tersebut membuka celah bagi praktik tidak sehat: negosiasi tertutup, kesepakatan politis di luar mekanisme resmi, atau bahkan potensi penempatan anggaran demi kepentingan kelompok tertentu. Ketidakjelasan proses dan kurangnya akses publik terhadap dokumen anggaran memperkuat spekulasi negatif. Transparansi bukan sekadar slogan; ia adalah mekanisme pencegahan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ketika masyarakat tidak memperoleh informasi lengkap mengenai dasar pemangkasan atau penambahan anggaran, kecurigaan tumbuh dan kecurigaan itu merusak kepercayaan publik yang sulit pulih.
Perlunya Kolaborasi Konstruktif – Solutif semua pihak
Untuk mengatasi permasalahan ini, sudah saatnya pemimpin di Ende menjalin kolaborasi yang lebih konstruktif. Bupati dan DPRD seharusnya bekerja sama membangun dialog terbuka yang melibatkan masyarakat. Pengambilan keputusan yang transparan dan inklusif dapat membantu membangun kepercayaan publik dan menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Media lokal dan organisasi masyarakat sipil harus mengambil peran lebih agresif sebagai pengawas. Liputan komprehensif yang memaparkan data berapa potongan anggaran, dampak pada layanan, siapa terdampak akan menekan elit untuk bertanggung jawab. Publik yang terinformasi dapat mendorong mekanisme partisipasi, seperti hearing publik atau konsultasi terbuka, yang meminimalkan ruang bagi negosiasi tertutup. Selain itu, pemantauan jangka panjang terhadap implementasi anggaran diperlukan untuk memastikan keputusan yang diambil benar-benar menghasilkan outcome yang dijanjikan.
Beberapa solusi konstruktif yang bisa disampaikan adalah :
Perbaiki mekanisme konsultasi: Tetapkan jadwal pembahasan anggaran yang jelas dengan forum-forum teknis sebelum masuk ke rapat paripurna, sehingga perdebatan tidak hanya bersifat politis tapi berbasis data.
Wajibkan analisis dampak sebelum pemangkasan: Setiap usulan efisiensi harus disertai kajian dampak terhadap layanan dan indikator kesejahteraan.
Tingkatkan transparansi: Publikasikan dokumen rancangan anggaran, alasan perubahan, dan simulasi dampaknya secara terbuka dan mudah diakses.
Libatkan publik: Selenggarakan hearing publik dan mekanisme aspirasi warga terutama dari komunitas yang paling terpengaruh.
Tegakkan sanksi untuk praktik negosiasi tertutup atau penyalahgunaan wewenang: Baik melalui mekanisme internal DPRD, audit eksternal, maupun pelaporan ke penegak hukum jika ditemukan indikasi korupsi.
Bangun kapasitas: Pelatihan perencanaan anggaran berbasis outcome untuk perangkat daerah dan anggota DPRD sehingga pembahasan berbasis evidensi, bukan retorika.
Sebagai catatan akhir, Pemerintah daerah dan DPRD apakah mau memilih antara sandiwara atau pelayanan karena Ende tidak butuh sandiwara politik. Ende butuh tata kelola yang matang, kepemimpinan yang mampu menengahi perbedaan demi kepentingan publik, dan lembaga yang transparan serta akuntabel. Jika para elite lokal terus memilih ego dan pencitraan, maka yang terkorbankan bukan hanya citra demokrasi, tetapi masa depan generasi yang menunggu sekolah yang baik, rumah sakit yang layak, dan jalan yang dapat dilalui. Garuda yang terkapar itu masih bisa diangkat kembali tetapi hanya jika Bupati, DPRD, media, dan masyarakat sipil berani meletakkan kepentingan rakyat di atas semua ambisi politik. Saatnya menuntut lebih dari sebuah retorika kosong. Saatnya menuntut kerja nyata.***


Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.