Advertisement
Scroll Keatas Untuk Lanjutkan Membaca
BREAKING NEWS

Di Antara Doa dan Dialog: Menafsirkan Kembali Semangat Nostra Aetate

   
Di Antara Doa dan Dialog: Menafsirkan Kembali Semangat Nostra Aetate

Di Antara Doa dan Dialog: Menafsirkan Kembali Semangat Nostra Aetate

Agama bukan hanya seperangkat doktrin yang diyakini secara pribadi, tetapi juga instrumen pembentuk budaya, etika, serta relasi sosial.

Oleh : T.H. Hari Sucahyo.

Umat Gereja Santo Athanasius Agung , Paroki Karangpanas Semarang



Keputusan Paus Leo XIV untuk menolak undangan imam Asgin Tunca untuk melakukan salat di Masjid Sultan Ahmed telah memantik diskusi luas yang melampaui peristiwa tunggal tersebut. Peristiwa itu membuka kembali percakapan panjang mengenai bagaimana dua agama besar, Kristen dan Islam, saling memandang, saling menanggapi, dan berupaya membangun jembatan tanpa menghapus karakter serta keyakinannya masing-masing. 


Dalam konteks masyarakat global yang semakin terhubung, sebuah keputusan sederhana; berhenti atau tidak untuk berdoa di sebuah bangunan suci milik agama lain, tiba-tiba menjadi simbol hubungan yang jauh lebih kompleks. Bagi sebagian orang, tindakan Paus dianggap sebagai ketegasan identitas; bagi sebagian lain, sebagai peluang yang terlewatkan. Di dalam ketegangan inilah pendekatan sosio-teologis Gereja Katolik, terutama sebagaimana diartikulasikan dalam Nostra Aetate tahun 1965, menemukan relevansi barunya. 


Dalam dinamika sosial kontemporer, agama bukan hanya seperangkat doktrin yang diyakini secara pribadi, tetapi juga instrumen pembentuk budaya, etika, serta relasi sosial. Gestur seperti memasuki rumah ibadah agama lain, berdoa hening, atau sekadar berdialog secara terbuka bukan lagi sekadar tindakan religius, tetapi juga peristiwa sosial yang mengandung makna politis, simbolis, dan emosional. 


Paus Leo XIV, terlepas dari alasan pastinya, yang memang tidak dipublikasikan, membuat keputusan yang menunjukkan bahwa simbol tetap penting. Seorang pemimpin agama dunia tidak pernah bertindak hanya sebagai individu, tetapi sebagai representasi umat yang dipimpinnya. Karena itu, ia harus mempertimbangkan dampak dari setiap gestur terhadap kepekaan umat Katolik, relasi dengan masyarakat Muslim, serta persepsi dunia internasional. 


Namun penting untuk diingat bahwa Nostra Aetate tidak pernah menuntut gereja atau umat Katolik untuk mengaburkan batas identitas religius demi membangun hubungan baik. Dokumen tersebut lahir dari pergulatan panjang Gereja untuk memahami perannya dalam dunia yang telah berubah secara dramatis setelah perang dunia, kolonialisme, dan berkembangnya kesadaran global akan pluralitas. 


Di dalamnya terdapat upaya untuk mempertemukan dua hal yang sebelumnya dianggap bertentangan: komitmen pada kebenaran iman Katolik dan hubungan yang penuh hormat dengan pemeluk agama lain. Gereja berusaha mengartikulasikan bahwa penghormatan terhadap agama lain bukanlah relativisme teologis, melainkan pengakuan terhadap nilai-nilai universal yang dapat ditemukan di banyak tradisi religius, termasuk Islam. 


Dalam Nostra Aetate, Gereja menyatakan dengan tegas bahwa ia “memandang umat Muslim dengan hormat”, mengakui bahwa mereka menyembah Tuhan yang satu, hidup, dan kekal, yang berbicara kepada manusia. Ini menandai perubahan signifikan dalam pendekatan tradisional yang sebelumnya sering dibingkai lewat polemik dan konflik historis. 


Gereja menegaskan adanya titik temu: penghormatan kepada Abraham, keyakinan akan hari penghakiman, dan komitmen pada doa serta amal. Tetapi dokumen itu juga tidak menutupi perbedaan, terutama terkait pemahaman akan Kristus. Dengan demikian, Nostra Aetate bukanlah proyek penyamaan, tetapi sebuah undangan untuk perjumpaan. 


Melalui lensa teologi sosial, relasi antara kedua agama tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat yang serba plural, migrasi lintas-negara, pertumbuhan minoritas religius di berbagai benua, serta meningkatnya interaksi antarbudaya. Ketika seorang Kristen mengunjungi masjid atau seorang Muslim masuk ke gereja, mereka tidak hanya memasuki bangunan, tetapi memasuki sejarah panjang, memori kolektif, pengalaman komunitas, dan simbol yang hidup. 


Dalam konteks ini, Paus Leo XIV mengambil keputusan yang menurut sebagian orang tegas tetapi bagi sebagian lain dingin. Ia tidak melakukan doa hening seperti pendahulunya. Namun apakah itu berarti ia menolak dialog? Tidak selalu. Bisa saja ia ingin menegaskan bahwa dialog tidak harus mengambil bentuk simbol yang sama; atau bahwa ia ingin menghindari kesalahpahaman bahwa doa di masjid merupakan kewajiban diplomatik bagi Paus; atau bahkan untuk menghindari persepsi bahwa Gereja mulai mengaburkan batas doktrinalnya. 


Teologi sosial melihat bahwa setiap gestur keagamaan di ruang publik selalu punya dimensi kemasyarakatan. Ketika Paus melakukan doa hening di masjid, sebagian umat Katolik mungkin melihatnya sebagai simbol penghormatan; sebagian lainnya mungkin merasakannya sebagai tekanan moral, seolah-olah pemimpin tertinggi mereka “harus” melakukan itu agar dianggap dialogis. 


Sebaliknya, seorang Muslim yang diminta untuk melakukan doa di katedral mungkin merasakan ketidaknyamanan yang sama. Dalam konteks ini, wajar jika Paus Leo XIV memilih untuk tidak mendorong terciptanya kesan bahwa doa di rumah ibadah agama lain adalah norma yang wajib. Penghormatan sejati tidak terletak pada penyeragaman ritual, tetapi pada kemampuan mengakui bahwa setiap agama memiliki cara berdoanya sendiri. 


Pada saat yang sama, penolakan Paus dapat dipandang sebagai momen untuk merefleksikan kembali arah dialog antaragama. Apakah dialog harus selalu berbentuk gestur simbolik? Apakah dialog harus selalu spektakuler? Dalam banyak kasus, dialog yang paling tulus justru terjadi dalam ruang-ruang kecil: percakapan antarindividu, kerja sama sosial, solidaritas bagi kaum miskin, atau usaha-usaha bersama untuk menghentikan kekerasan atas nama agama. 


Di sini, Nostra Aetate memberikan pijakan filosofis yang penting. Dokumen itu menegaskan bahwa Gereja menolak segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan atas dasar agama. Ia mengajak umat untuk melupakan masa-masa ketegangan historis dan melihat potensi masa depan. Dialog bukanlah alat retoris, melainkan jalan menuju perdamaian. 


Lebih dalam lagi, narasi sosio-teologis mengenai hubungan Kristen-Muslim juga berkaitan dengan bagaimana kedua agama memahami martabat manusia. Gereja Katolik menekankan bahwa setiap manusia, tanpa memandang agamanya, adalah ciptaan Tuhan yang bermartabat dan memiliki kebebasan hati nurani. 


Karena itu, tidak seorang pun boleh dipaksa untuk berdoa dengan cara agama lain. Pernyataan ini bukan sekadar doktrinal tetapi sosial; ia membentuk fondasi bagi relasi antaragama yang sehat. Kebebasan religius bukan hanya hak individu, tetapi juga bentuk penghormatan antartradisi. 


Dalam konteks dunia modern, hubungan antara Islam dan Kristen sering kali direduksi menjadi konflik politik atau benturan budaya, padahal pada tingkat teologis dan sosial terdapat kesempatan besar untuk kerja sama. Misalnya, kedua agama memiliki komitmen kuat terhadap keadilan, perlindungan terhadap kaum miskin, dan perdamaian. Ketiganya adalah titik temu yang dapat mengikis prasangka dan menciptakan ruang dialog. Ketika agama-agama mampu bekerja bersama untuk tujuan kemanusiaan, simbol-simbol seperti doa di masjid atau gereja menjadi pelengkap, bukan inti dari hubungan.


Karena itu, peristiwa Paus Leo XIV di Masjid Sultan Ahmed hendaknya tidak dibaca semata sebagai penolakan, tetapi sebagai momen reflektif mengenai bagaimana dialog antaragama seharusnya diterjemahkan. Ia mengingatkan bahwa menghormati tidak berarti harus melakukan hal yang sama dengan pendahulu atau mengikuti pola yang sudah terbentuk. Dialog yang matang menuntut kebebasan dan kejujuran masing-masing pihak untuk menunjukkan identitasnya secara autentik tanpa harus merasa terancam. 


Nostra Aetate tetap menawarkan arah yang relevan untuk masa kini: mengakui titik temu, menghormati perbedaan, dan bekerja sama demi kebaikan bersama. Dokumen tersebut tidak pernah mengajak umat untuk menghapus identitas agamanya, melainkan untuk memahami bahwa pluralitas adalah fakta hidup yang dapat menjadi kekuatan bila diolah dengan bijak. Dalam dunia yang sering terpecah oleh prasangka dan politik identitas, pendekatan ini menjadi semakin penting. 


Peristiwa di Istanbul itu, dengan seluruh kontroversinya, pada dasarnya mengembalikan perhatian kita pada inti dari teologi sosial Gereja: bahwa perjumpaan antaragama harus dilandasi penghormatan, kebebasan, dan keterbukaan, bukan tekanan simbolik atau imitasi ritual. 


Paus Leo XIV mungkin memilih tidak berdoa di Masjid Biru, tetapi justru lewat keputusan itu percakapan tentang dialog antaragama muncul kembali. Dan mungkin, dalam ruang dialog itulah makna sejati dari Nostra Aetate hidup kembali sebagai panggilan untuk melihat sesama bukan melalui lensa kecurigaan, tetapi melalui kemanusiaan yang sama-sama dianugerahkan Tuhan.***

Add Comment

Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.


©2020 — NUSA PAGI