Advertisement
Scroll Keatas Untuk Lanjutkan Membaca
BREAKING NEWS

Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata : Ketika Kabut Menyulam Doa di Puncak Kelimutu

   
Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata : Ketika Kabut Menyulam Doa di Puncak Kelimutu

Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata : Ketika Kabut Menyulam Doa di Puncak Kelimutu

Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata : Ketika Kabut Menyulam Doa di Puncak Kelimutu
Para Mosalaki membawa sesajian untuk Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata di Puncak Danau Kelimutu (Foto : istimewa)

Ende - Nusapagi.com || Fajar baru saja membuka mata ketika puncak Kelimutu kembali menjadi altar agung. Kabut tipis turun perlahan, seperti selendang putih yang disampirkan di bahu tiga danau, membelai airnya yang berwarna bagai perca langit. Udara dingin merayap di kulit, sementara dari kejauhan, dentang gong menggema lirih suara purba yang memanggil jiwa-jiwa untuk berkumpul.


Di antara Tiwu Ata Bupu dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai, langkah para Mosalaki tetua adat suku Lio bergerak teratur, penuh wibawa. Mereka menyusuri jalan setapak menuju mesbah kurban, membawa serta keyakinan yang diwariskan sejak nenek moyang pertama menjejak tanah ini.


Bagi mereka, Kelimutu bukan sekadar lanskap. Ia adalah tanah suci pintu antara dunia manusia dan dunia leluhur, tempat persembahan diantarkan, tempat janji kepada masa silam ditepati.


Hening yang Menyatu, Gong yang Menyapa


Pagi itu, Kamis (14/8/2025), Ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata kembali digelar untuk ke -16 kalinya sejak dihidupkan kembali pada 2009. Sebanyak 22 komunitas adat dari 24 desa di sekitar Taman Nasional Kelimutu datang, menyatu dalam doa. Ratusan wisatawan dari penjuru negeri hingga mancanegara larut dalam atmosfer sakral yang merambat pelan, seperti embun di dedaunan.


Dari rumah adat Sao Ria, upacara penyambutan tamu Mega membuka perjalanan. Para Mosalaki Pu’u memimpin barisan, membawa sesaji tertinggi: nasi merah, daging babi, sirih pinang, dan tembakau. Tidak ada yang mendahului tetua. Tidak ada yang berbicara. Hanya bunyi gong yang sesekali mengalun seperti bahasa rahasia yang menghubungkan dua dunia.


Gong ditabuh sebagai kompas perjalanan yang hening dan sakral menuju tempat sesajian di puncak Kelimutu (Foto : istimewa)


Doa yang Membubung, Tarian yang Membumi


Di mesbah, persembahan diletakkan dengan penghormatan yang agung. Doa-doa adat mengalir dalam bahasa yang mungkin tak semua mengerti, tetapi semua bisa merasakan doa yang membubung bersama kabut, mengetuk langit pagi.


Begitu roh leluhur “diberi makan”, suasana berubah. Gong kini berpadu dengan sorak sukacita. Tarian Gawi dimulai, laki-laki bergandengan tangan membentuk lingkaran, kaki melangkah serentak, wajah menyala oleh rasa syukur.


Bupati Ende, Yoseph Benediktus Badeoda, yang hadir bersama istrinya, menyebut ritual ini bukan sekadar tradisi:


“Ini identitas kita. Alam dan budaya Kelimutu adalah warisan yang harus kita jaga bersama,” ujarnya.


Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda bersama Istri dan Para Pimpinan Forkopimda saat acara ritual Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata di Taman Nasional Kelimutu Ende
(Foto : istimewa)


Harmoni di Puncak Tiga Warna


Bagi pengelola Taman Nasional Kelimutu, ritual ini adalah simpul yang mengikat manusia, alam, dan leluhur. Fransiskus X.N. Rodja, Kepala Subbag Tata Usaha TNK, mengatakan tahun ini mereka memperkenalkan Landmark Kelimutu, panggung budaya permanen dekat Visitor Center, yang akan menjadi ruang hidup bagi seni tradisi.


Selama ritual, jalur wisata menuju danau ditutup sebuah jeda penghormatan, agar Kelimutu kembali sepenuhnya menjadi milik adat, meski hanya sehari.


Janji yang Ditepati di Hadapan Leluhur


Bagi suku Lio, Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata bukan hanya acara tahunan setiap 14 Agustus. Ia adalah jembatan waktu, penghubung masa kini dengan masa lampau. Sebuah pengingat, bahwa di balik keindahan yang kerap diabadikan kamera, Kelimutu adalah tanah keramat yang dijaga dengan adat, doa, dan rasa syukur.


Saat lingkaran Gawi terurai dan dentang gong terakhir menghilang di udara, kabut pun menyingkir perlahan. Matahari menembus awan, menyalakan kilau di tiga permukaan danau. Alam seakan menjawab, bahwa hari itu, anak cucu telah menunaikan janji mereka kepada leluhur dan Kelimutu, seperti biasa, menyimpannya dalam diam.***(NP/Efrid Bata)



Add Comment

Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.


©2021 — NUSA PAGI