Senandung Malam, Antara Gembira dan Gelisah
![]() |
Oleh : Paskalis X. Hurint |
Ketika Malam Tak Lagi Hening
Masyarakat Flores selalu menyambut momen kebersamaan—entah itu pesta keluarga, reuni, atau pertemuan santai—dengan suka cita yang khas: bernyanyi karaoke menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebersamaan. Karaoke hadir sebagai bunga di tengah jamuan, sebagai obor yang menghidupkan semangat dalam pesta. Denting musik dan suara nyanyian seolah menjadi mantra yang merangkul siapa saja dalam lingkaran keakraban. Namun, apakah setiap lagu yang disenandungkan itu benar-benar membawa kebahagiaan bagi semua yang mendengarnya?
Tatkala malam merangkak naik, dan bintang-bintang mulai menari di langit gelap, karaoke masih menggema. Suara-suara itu tak lagi merdu bagi sebagian jiwa yang mendamba tenang. Bagi mereka yang lelah seharian bekerja, atau bayi kecil yang terbangun oleh nyanyian tak bertuan, senandung malam itu berubah menjadi riuh yang mengiris. Di balik tembok dan jendela yang tertutup rapat, keluhan-keluhan tak bersuara perlahan tumbuh, membentuk gumpalan keresahan yang tak terungkapkan.
Beginilah drama kecil kehidupan kita: antara hiburan dan kebisingan, antara hak dan tanggung jawab. Maka tulisan ini ingin menyusuri persoalan itu, bukan untuk mencela, melainkan untuk merenung bersama, agar harmoni tetap bersemayam dalam kehidupan bertetangga.
Menyanyikan Budaya, Mendengar Suara Sekitar
Karaoke bukan sekadar alat hiburan. Ia telah menjelma menjadi simbol kehangatan dalam relasi sosial. Suara-suara yang mungkin tak sempurna nadanya, justru menjadi perekat yang menghapus sekat antargenerasi. Di balik mikrofon itu, ada tawa, ada kisah, ada ingatan akan lagu-lagu lama yang menyimpan kenangan.
Popularitas karaoke tak lepas dari berbagai alasan: ia memudahkan orang melepas beban dan menyambut gembira. Dalam keluarga, ia menjadi media untuk bersatu, merayakan hidup dengan cara sederhana. Dalam pesta, ia menjadi penyambung keceriaan yang sulit digantikan.
Namun, budaya ini juga membawa tanggung jawab. Tak semua ruang cocok untuk bersenandung hingga larut. Di balik dinding rumah-rumah lain, ada dunia yang berbeda. Ada seorang ibu yang baru saja melahirkan, ada lansia yang tubuhnya ringkih, ada pelajar yang butuh ketenangan demi esok yang penuh ujian.
Kala malam menjelang, batas antara kegembiraan dan kebisingan menjadi samar. Maka, adakah ruang di hati kita untuk sejenak menundukkan suara dan mendengarkan yang lain?
Getar Resah dalam Gelap
Setiap suara yang menggema terlalu lama dapat berefek yang tak diinginkan. Dalam kelam malam yang semestinya menjadi peristirahatan, karaoke larut malam hadir sebagai irama yang tak diundang. Gelombang suara yang menerobos jendela, menusuk gendang telinga, perlahan mengubah kenyamanan menjadi keresahan.
Dampak sosial dari karaoke larut malam tidak bisa diabaikan:
Karaoke di larut malam menyisahkan tidur yang tercabik: anak-anak gelisah, orang tua tak nyenyak, dan pekerja bangun dengan mata berat. Jiwa yang letih: ketika malam tidak memberi ketenangan, pagi pun datang dalam kemurungan. Diam yang menyimpan luka: warga enggan menyuarakan protes, takut dianggap tak ramah. Maka keluhan hanya bergema dalam batin, menyisakan jarak antarsesama.
Hak yang saling berbenturan: kebebasan bernyanyi bertemu dengan hak istirahat. Dua kepentingan yang harus saling memahami, bukan saling meniadakan.
Begitulah kenyataan yang kita hadapi. Di satu sisi, tak ada salahnya menyanyi. Namun di sisi lain, adakah kita sudah cukup bijak dalam memilih waktu dan tempatnya?
Hukum yang Sunyi, Etika yang Terlupakan
Dalam kehidupan bersama, ada pagar-pagar tak kasat mata yang dibangun untuk menjaga keseimbangan. Pagar itu bernama etika. Ia tak tertulis, namun terasa. Ia tak mengikat dengan kekerasan, tapi mampu menuntun pada kebaikan.
Etika sosial mengajarkan bahwa kebebasan bukan tanpa batas. Setiap tindakan membawa dampak pada sekitar. Menyanyi boleh, namun tidakkah lebih indah jika nyanyian itu membawa senyum, bukan keluhan?
Aspek hukum juga sebenarnya tak diam. Peraturan daerah banyak mengatur batas kebisingan. Namun hukum seringkali hanya menjadi tinta di atas kertas jika tidak dibarengi kesadaran untuk menaati.
Yang lebih menyedihkan adalah ketika hukum menjadi sunyi, dan etika terlupakan. Maka muncullah ruang kosong di tengah masyarakat. Ruang yang penuh keluhan tanpa solusi, kekecewaan tanpa arah. Dalam ruang inilah konflik kecil tumbuh menjadi besar.
Merenda Harmoni, Menyulam Solusi
Permasalahan sosial, betapapun kecilnya, tidak boleh dibiarkan membesar dalam diam. Dalam kebersamaan, kunci penyelesaian adalah komunikasi. Mari kita buka jendela, bukan hanya untuk menyuarakan lagu, tapi juga untuk mendengarkan suara tetangga.
Karaoke bukan musuh. Ia adalah bagian dari suka cita. Namun seperti api yang menghangatkan jika dijaga, ia juga bisa membakar jika dibiarkan liar. Dalam kehidupan bersama, setiap nyanyian harus peka pada ruang dan waktu.
Mari kita ubah kebiasaan menjadi kebijaksanaan. Kita tak perlu berhenti bernyanyi, tapi kita bisa memilih kapan dan bagaimana bernyanyi. Kita tak perlu mengekang kegembiraan, tapi kita bisa membagikannya tanpa menyakiti. Karena sejatinya, keharmonisan bukan hanya tentang suara yang terdengar merdu, tapi juga tentang hati yang saling mendengarkan.