Mengenal Budaya dan Kampung Adat Roga di Ende

Mengenal Budaya dan Kampung Adat Roga di Ende


Ende - Nusapagi.com ||Secara etimologi, Roga memiliki arti suara yang berwibawa, suara terpandang atau suara terhormat. Dapat juga diartikan bunyi air yang mengalir tidak deras atau keras tetapi menghanyutkan, atau juga dapat dikatakan suara kesejukan atau suara perdamaian dan suara keberuntungan.

 Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui  bahwa sejak dulu hingga saat ini secara implisit terdapat  martabat kepemimpinan yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Kampung adat Roga  sendiri berada di puncak bukit tertinggi di ujung selatan Desa Roga.Kampung adat ini dahulunya merupakan perkampungan yang ditinggali banyak penduduk. Topografi perkampungan ini berbukit-bukit. 

Kampung adat Roga memiliki 24  rumah adat (Sa’o Ria) yang berdiri utuh. Rumah-rumah ini dibangun di tanah bertingkat rata dimana bagian pinggirnya disusun bebatuan sebagai penahan. Pondasi rumah ditopang sembilan batu ceper berukuran besar yang ditanam di dalam tanah sehingga cukup untuk menahan beban rumah.. Tinggi batu tersebut dari permukaan tanah sekitar 60 hingga 100 cm untuk struktur mendukung rumah berbentuk panggung.

Rumah-rumah adat yang dibangun mengikuti topografi wilayah yang berbukit.  Batu-batu ceper digunakan sebagai fondasi rumah. Adapun batuan berbentuk ceper ditumpuk bersusun disisipkan di celah-celah berbatu yang berfungsi sebagai anak tangga yang terletak di bagian depan dan belakang tetap di pintu.

Sedangkan lantainya tersusun dari papan-papan yang disusun sejajar satu arah. Desain lantai rumah adat ada dua jenis, yaitu lantai luar dan lantai ruang dalam, kedua lantai ini tidak dipisahkan oleh dinding melainkan dipisahkan oleh perbedaan tinggi lantai. Lantai ruang luar dibuat lebih rendah dibandingkan lantai ruang dalam. Di bagian dalam terdapat juga dapur yang pada saat ritual adat ditempati kaum perempuan.

Sedangkan di bagian teras rumah tetap setelah tangga pintu rumah dibiarkan lapang tanpa kursi sehingga semua orang bisa duduk bersila saat berkumpul. Biasanya, teras bagian depan digunakan untuk menjamu tamu, baik pada saat hari biasa maupun saat ritual adat.

Selain sa'o maka terdapat sa'o nggua , yang diperuntukkan untuk para tetua. Cirinya di depan s a'o nggua terdapat tubu saga (tiang saga) yang diperuntukkan sebagai tempat persembahan kepada leluhur atau nenek moyang. Tiang ini terbuat dari batu atau dari kayu tertentu yang tidak mudah lapuk.Hanya mosalaki atau tetua adat beserta anggota keluarganya yang boleh tinggal di sa'o nggua . Hak ahli waris diturunkan secara turun-temurun kepada garis keturunan laki-laki ( patriarkhi ).

Filosofi rumah adat (Sa’o Ria)

Dari sisi filosofis bentuk bangunan ini menyerupai bagian tubuh manusia. Atap diibaratkan sebagai kepala, tiang utama diidentikkan dengan leher, kuda-kuda penopang bubungan diibaratkan sebagai kedua tangan, dinding ibarat penyangga, serta tiang penyangga diibaratkan sebagai kaki. Mengikuti filosofi tersebut, maka struktur atap berbentuk undangan dengan empat sisi dimana atap terbuat dari ilalang dan kedinginan memakai ijuk. Tinggi atap bisa mencapai tujuh meter. Seluruh tiang dan lantai serta dinding rumah adat terbuat dari kayu.

Menurut mosalaki roga Gregorius Gato, dulunya rumah-rumah adat ini sengaja dibangun besar karena setiap rumah dapat dihuni hingga belasan kepala keluarga. Menurutnya, untuk membangun rumah adat sa'o tidak dapat dilakukan sembarangan. Sebelum memotong kayu yang akan digunakan sebagai tiang penopang, harus dilakukan upacara dan ritual adat khusus. Saat kecil saya merasakan tinggal di dalam sa'o. Ada 12 kepala keluarga yang tinggal di dalamnya dan semuanya hidup aman dan rukun,” jelas Philipus Kami.

Ucapan Syukur

Keunikan lain dari kampung adat ini adalah setiap bulan mei , diselenggarakan pesta adat untuk mensyukuri keberhasilan panen padi atau yang disebut dengan Nggua . Ritual nggua terdiri dari tiga urutan yaitu Uta Bue , Uwi-Keu Kana dan Keo . Pesta adat ini merupakan rangkaian ritual yang dimulai sejak awal dengan membuka kebun baru hingga ditutup dengan gawi atau menari bersama saat pesta syukuran. Seluruh ritual gawi merupakan simbol atau semangat persaudaraan, senasib sepenanggungan dan luapan rasa syukur dan penghormataan kepada sang pencipta, leluhur dan alam yang telah memberikan makanan. Ritual prosa dimulai dengan So Au yaitu menentukan tempat akan dibukanya lahan baru ( uma wolo ).

Selanjutnya dilakukan Ngeti, Poto ura aje , yaitu membuka huma secara simbolis yang menandai pembukaan ladang yang diikuti pantangan beberapa waktu selama 1-3 hari, yang disebut dengan wari atau membiarkan huma yang sudah ditebas untuk beberapa waktu.

Sesudahnya dilakukan Jengi , membakar huma yang sudah kering yang akan dijadikan kebun yang dilanjutkan dengan sele ago atau sewu petu, atau reba rango dengan upacara seru fata atau tolak bala dimana tanah terbungkus dengan dahan, ranting dan lainnya lalu ditarik dari ujung atas kebun menuju arah bawah atau tempat yang lebih rendah ( lawo ). Selanjutnya dilanjutkan dengan tedo atau menanam padi dan tanaman lainnya . 

Tedo pertama kali dilakukan oleh mosalaki pada waktu pagi sekali sebelum orang lain tahu, lalu prosesnya disusul oleh fai walu ana kalo , atau masyarakat biasa. Saat tanaman sudah berumur sekitar tiga bulan dan mulai matang dilakukan tonda lobo rabhe rara , yang ditandai dengan nggua uta bue atau memakan kacang-kacang. Simbol ini adalah untuk mengingatkan kembali keturunan dan leluhur atau nenek moyang yang datang secara bersusun, berketurunan. Bue atau kacang-kacangan itu buahnya bersusun pemimpin yang tidak berhenti, menghubungkan sistem tangga.

Setelah padi siap panen dilaksanakan keti pare. Pare (padi) yang di petik itu disimpan selalu di bhengge (lumbung). Hasil panen ini kemudian diadakan upacara adat atau ritus yang disebut dengan makan nasi baru atau nguua keu-uwi (keu atau pinang dan uwi atau ubi ),” jelas Philipus . Lalu diikuti makan bersama, keesokan harinya diadakan gawi atau menari bersama. Waktu gawi pun para mosalaki lebih dahulu baru menyusul warga masyarakat biasa.

Selain upacara sukur panen adapun acara adat lain yaitu Tolak Bala ubtuk meminta perlindunagn demi menjaga hasil tanaman masyarakat adat setempat. Setelah upacara nggua keu-uwi, diadakan ritual tolak bala ( joko ju ). Upacara tolak bala ini dimaksudkan agar segala penyakit atau bala tidak akan masuk lagi bila membuka kebun berikutnya. Semua penyakit yang dikeluarkan dari kebun atau ladang tersebut agar hasil panen dapat mencukupi sesuai harapan.

Ritual ditutup dengan melaksanakan tarian gawi bersama-sama. Sebelum gawi, mosalaki menuangkan arak ( moke ) dan memberi makan kepada leluhur di batu ceper yang berada di tengah lapangan rata di kampung adat tempat di lakukan gawi bersama.Hampir semua masyarakat Saga hadir dalam kesempatan nggua yang selalu rutin digelar setahun sekali setiap bulan Mei.

Karena tradisi diroga yang begitu unik ini, kami merekomendasikan agar dapat dilakukan penataan kembali kampung adat Saga sebagai ikon pariwisata dengan tidak menghilangkan budaya asli masyarakat adat roga ” harap Philipus.

Sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga serta melestarikan budaya local, kita perlu mempelajari dan memahami makna dari setiap bangunana adat dan juga ritual yang dilakukan. Semua itu memiiki nilai kehidupan yang mengatur perilaku dalam kehidupan berbudaya.* ( Novensia Dewi Dala, Mahasiswi PBSI Uniflor). 

Apa komentar Anda?

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post