![]() |
| Oleh : Fr. M.Yohanes Berchmans, BHK |
Salve Saudara - saudariku yang terkasih dalam Kristus, Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mendengar tetapi tidak sungguh mendengarkan. Kita tahu apa yang baik, apa yang benar, bahkan apa yang Tuhan kehendaki, namun sering menundanya dengan berbagai alasan: masih ragu, terlalu sibuk, takut risiko, atau terlalu banyak pertimbangan manusiawi. Ketaatan pun akhirnya tertunda—bahkan kadang tidak pernah terwujud.
Pada Pesta Keluarga Kudus hari ini, Gereja mengajak kita menimba inspirasi dari Santo Yusuf, sosok ayah asuh Yesus yang jarang berbicara, tetapi sangat fasih dalam ketaatan.
Injil Matius 2:13–15.19–23 mengisahkan peristiwa penyingkiran ke Mesir, pembunuhan anak-anak Betlehem, dan kembalinya Keluarga Kudus ke Nazaret. Di tengah situasi yang penuh ancaman dan ketidakpastian, Yusuf tampil sebagai teladan ketaatan sejati. Ia mendengarkan sabda Tuhan melalui malaikat dengan hati yang rendah dan telinga batin yang terbuka. Namun ketaatannya tidak berhenti pada mendengar saja. Setiap kali Tuhan berbicara, Yusuf segera bangun, bergerak, dan melakukan persis seperti yang diperintahkan—tanpa tawar-menawar, tanpa menunda, tanpa banyak alasan.
Ketaatan Yusuf bukan ketaatan yang aman dan nyaman. Ia harus meninggalkan tanah airnya, berjalan di malam hari, membawa istri dan anak yang masih kecil, serta menghadapi risiko besar demi keselamatan Yesus. Namun justru melalui ketaatan total itulah rencana keselamatan Allah digenapi. Keselamatan Sang Juruselamat dunia dipercayakan pada ketaatan seorang ayah yang sederhana.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Di tengah dunia yang bising oleh suara ketakutan, ambisi, dan opini, kita sering menunda ketaatan: “nanti saja,” “saya belum siap,” “apa kata orang?” Santo Yusuf mengingatkan kita bahwa ketaatan sejati menuntut keberanian untuk segera bertindak, meninggalkan zona nyaman, dan percaya penuh pada penyelenggaraan Allah.
Dari Santo Yusuf, kita belajar tiga sikap penting dalam hidup beriman:
Pertama, mendengarkan dengan hati yang hening.
Ketaatan selalu berawal dari keheningan. Kita perlu menyediakan ruang batin untuk Tuhan: melalui doa pribadi, ibadat, Ekaristi, dan saat-saat hening di hadapan-Nya. Tanpa keheningan, suara Tuhan mudah tenggelam oleh hiruk-pikuk dunia.
Kedua, bangun dan bergerak tanpa menunda.
Yusuf “segera bangun” setiap kali Tuhan berbicara. Ia tidak menunggu situasi ideal. Ia percaya bahwa ketaatan hari ini lebih penting daripada kepastian esok hari.
Ketiga, melakukan dengan taat sepenuhnya.
Ketaatan sejati bukan ketaatan setengah hati. Bukan penuh kompromi atau diskusi panjang, melainkan kesediaan untuk menyerahkan kehendak pribadi ke dalam rencana Allah. Di situlah ketaatan menjadi total dan membebaskan.
Semua ini hanya mungkin bila dilandasi oleh kerendahan hati dan keterbukaan kepada kehendak Tuhan. Dalam ketaatan itulah hidup kita menjadi bagian dari “puzzle besar” rencana keselamatan Allah—meski kita sendiri tidak selalu melihat gambaran utuhnya.
Pertanyaan Refleksi
Apakah saya sungguh menyediakan ruang hening dalam hati untuk mendengarkan sabda Tuhan di tengah kesibukan hidup?
Ketika Tuhan berbicara, apakah saya cenderung menunda ketaatan karena takut, ragu, atau terlalu banyak alasan?
Bagian mana dalam hidup saya yang Tuhan minta untuk segera saya lakukan dengan taat penuh, tanpa kompromi berlebihan?
Selamat berefleksi dan selamat merayakan Hari Minggu – Pesta Keluarga Kudus Nazaret.
Doa Singkat
Tuhan, bukalah telinga hati kami agar mampu mendengarkan sabda-Mu,dan anugerahkanlah kepada kami keberanian untuk segera taat melakukan kehendak-Mu. Amin.


Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.