![]() |
| (Refleksi Natal) Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK |
“Allah Hadir untuk Menyelamatkan Keluarga" (Matius 1:21–24) adalah tema Natal PGI-KWI tahun 2025. Tema ini menekankan bahwa kelahiran Yesus dalam keluarga kecil Nazaret adalah wujud nyata solidaritas Allah yang hadir dan tinggal di antara kita, di tengah keluarga dan kehidupan sehari-hari untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa. Jadi, kehadiran Yesus dalam keluarga Maria dan Yusuf menjadi tanda bahwa keselamatan dimulai dari keluarga, sebab keluarga adalah tempat pertama Allah berkarya. Dari sanalah kasih dan iman ditanamkan, sehingga keluarga kristiani dipanggil untuk memulihkan relasi dengan Allah dan sesama, terutama di tengah krisis seperti perpecahan, peperangan, kekerasan, dan tantangan moral yang sering melanda kehidupan. Natal pun mengingatkan kita bahwa Allah hadir bukan hanya di gereja, tetapi juga di rumah tangga, di hati manusia, untuk membawa damai dan harapan bagi setiap anggota keluarga.
Dengan demikian, keluarga menjadi ruang nyata di mana Allah menyatakan kasih-Nya dan menghadirkan keselamatan bagi dunia. Demikianlah inkarnasi Allah, mengajak kita umat Kristiani untuk melihat dengan mata iman dan mata hati bahwa keluarga merupakan inti dari rencana keselamatan Allah, di mana setiap anggota keluarga dipanggil untuk menjadi saksi kehadiran Allah yang menyelamatkan. Namun, sebelum menjadi saksi kehadiran Allah, maka setiap keluarga kristiani harus menjadi "gereja dan sekolah mini" untuk menumbuhkan iman, mendidik hati dan pikiran setiap anggota keluarga. Sebab, keluarga adalah tempat pertama di mana Allah berkenan hadir dan berkarya, yang dimulai dari keluarga kecil di Nazaret, hingga keseluruh keluarga kiristiani di dunia. Oleh karena itu, keluarga kristiani harus menyadari bahwa Allah sungguh hadir secara nyata di dalam keluarga, melalui kasih yang mengikat suami, istri, dan anak-anak, melalui doa yang terucap sederhana sebelum makan, melalui pengampunan yang diberikan ketika terjadi kesalahpahaman, dan melalui pelayanan yang dilakukan dengan tulus kepada sesama. Juga melalui keluarga yang membuka diri pada Firman Tuhan akan menemukan bahwa Kitab Suci bukan hanya bacaan, melainkan cahaya yang menuntun langkah sehari-hari.
Doa bersama menjadi nafas yang menghidupkan rumah tangga, menjadikan setiap ruang rumah sebagai altar kecil di mana Allah berdiam. Kehadiran Allah semakin nyata ketika keluarga terlibat dalam perayaan sakramen, terutama Ekaristi, yang mengikat keluarga dalam persekutuan dengan Kristus dan Gereja. Kasih yang diwujudkan dalam sikap saling menghargai, mendengarkan, dan mengampuni, keluarga yang harmonis dan penuh kedamaian adalah tanda bahwa Allah sungguh hadir. Dengan demikian, setiap keluarga kristiani memiliki misi yang mulia, yakni menciptakan atau menghadirkan Kerajaan Allah di dalam keluarga. Sebaliknya, keluarga yang broken, menandakan bahwa keluarga itu menciptakan atau menghadirkan kerajaan beelzebul. Itu artinya Allah tidak ada di dalam keluarga kristiani, yang ada di sana adalah beelzebul, yang ditandai oleh pertengkaran, percekcokan, kemarahan, emosional, caci maki, saling berantem. Jadi, tidak ada keharmonisan dan kedamaian, melainkan “chaos”.
Namun, harus disadari bahwa keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi saksi di tengah masyarakat, menunjukkan bahwa Allah hadir dalam tindakan nyata: membantu yang membutuhkan, peduli pada lingkungan, dan terlibat dalam pelayanan. Dengan demikian, kesadaran akan kehadiran Allah ini tumbuh bukan hanya dalam doa, tetapi meresap ke seluruh aspek kehidupan keluarga, menjadikan rumah tangga sebagai tempat di mana kasih Kristus nyata dan hidup. Tetapi, sebelum menjadi saksi kehadiran-Nya bagi dunia, setiap keluarga kristiani dipanggil lebih dahulu untuk menjadi “gereja dan sekolah mini” yang penuh kasih.
Sebagai gereja mini, keluarga kristiani harus menjadi ruang doa dan persekutuan, di mana setiap anggota belajar mengenal Allah melalui doa bersama, pembacaan Kitab Suci, dan teladan hidup yang saling mengasihi. Jadi, kasih Kristus harus nyata dalam sikap saling mengasihi, saling mengampuni, saling mendukung, dan saling melayani, sehingga dalam kehidupan sehari-hari setiap keluarga kristiani harus menjadi liturgi yang hidup, sebuah ibadah yang berlangsung di meja makan, di ruang tamu, bahkan dalam percakapan sederhana. Sedangkan, sebagai sekolah mini, keluarga kristiani adalah tempat pendidikan hati dan pikiran. Di dalamnya, anak-anak belajar nilai kasih, kejujuran, kepedulian, empati, dan tanggung jawab. Pikiran mereka dibentuk untuk berpikir kritis, terbuka, dan bijaksana, sementara hati mereka dilatih untuk peka terhadap sesama. Dan setiap orang tua menjadi guru pertama yang menanamkan nilai karakter yang baik, melalui teladan, disiplin, dan dialog yang penuh kasih. Ada ungkapan Latin: verba moven, exempla trahunt: kata-kata menggerakan, teladan hidup lebih menarik. Atau verba docent, exempla trahunt: kata-kata mengajar, teladan hidup lebih memikat.
Dengan demikian, setiap pengalaman baik suka maupun duka menjadi bahan refleksi dan pelajaran hidup yang memperkaya iman dan kebijaksanaan. Dengan menjadi gereja dan sekolah mini, maka keluarga kristiani sungguh layak menjadi saksi kehadiran Allah. Kesaksian itu tampak dalam kehidupan yang penuh damai, relasi yang memulihkan, serta teladan iman yang nyata bagi lingkungan sekitar. Dari keluarga yang hidup dalam kasih dan kebenaran, lahirlah pribadi-pribadi yang matang secara rohani dan sosial, siap menjadi terang bagi dunia. Dengan demikian, keluarga bukan hanya membangun dirinya sendiri, tetapi juga menghadirkan Allah bagi masyarakat dan dunia, menjadi tanda nyata bahwa Allah sungguh hadir untuk menyelamatkan. Terkait peran keluarga sebagai gereja mini, Konsili Vatikan II melalui dokumen Lumen Gentium dan Familiaris Consortio menegaskan bahwa keluarga adalah ecclesia domestica, yaitu gereja rumah tangga, tempat iman lahir, tumbuh, dan dibentuk.
Magisterium Gereja, baik Paus maupun para uskup, menekankan bahwa keluarga bukan sekadar unit sosial, melainkan pusat perutusan Gereja dan panggilan rohani yang nyata. Hal ini ditegaskan pula dalam Kitab Hukum Kanonik 1983: Kanon 226 §2 menyatakan bahwa orang tua memiliki kewajiban dan hak untuk mendidik anak-anak, baik secara jasmani, rohani, maupun moral; Kanon 774 §2 menegaskan bahwa pendidikan iman terutama berlangsung dalam keluarga, yang disebut sebagai “sekolah pertama iman”; dan Kanon 1136 menekankan kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Dengan demikian, keluarga sungguh layak disebut sebagai gereja dan sekolah mini.
Di dalamnya, doa bersama, pembacaan Kitab Suci, dan persekutuan kasih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Relasi antar anggota keluarga mencerminkan kasih Kristus, sehingga setiap tindakan sederhana dari meja makan hingga percakapan sehari-hari menjadi liturgi ekaristi hidup yang menghadirkan Allah. Teladan iman orang tua menjadi kesaksian nyata bagi anak-anak, menanamkan keyakinan bahwa Allah sungguh hadir dalam keluarga.
Inilah makna dari tema Natal yang kita rayakan tanggal 25 Desember 2025 ini. Kata Natal berasal dari bahasa Latin Dies Natalis yang berarti “Hari Lahir.” Dalam tradisi Inggris kuno, perayaan ini disebut Christmas dari istilah Cristes Maesse atau Cristes-messe, yang berarti “Misa Kristus.” Bahkan penulisan singkat Χ’mas tetap sarat makna, sebab huruf X dalam bahasa Yunani adalah lambang Kristus. Dalam bahasa Portugis, Natal berarti “kelahiran,” sebuah penegasan bahwa perayaan ini adalah hari kelahiran Sang Juruselamat, Yesus Kristus, yang setiap tahun dikenang oleh umat Kristiani melalui kebaktian malam pada tanggal 24 Desember dan kebaktian pagi pada tanggal 25 Desember.
Dengan demikian, Natal tahun ini mengingatkan kita bahwa Allah sungguh hadir untuk menyelamatkan keluarga kristiani. Dan dari keluarga kecil Nazaret, Allah menunjukkan bahwa keselamatan dimulai dari rumah: dari meja makan yang sederhana, dari doa yang tulus, dari kasih yang nyata. Keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi gereja mini dan sekolah mini, tempat iman ditanamkan, kasih dipelihara, dan harapan dibagikan. Di tengah dunia yang sering dilanda perpecahan, peperangan, kekerasan, dan krisis moral, keluarga yang hidup dalam kasih Kristus menjadi tanda terang yang memulihkan. Dari keluarga yang harmonis dan damai, lahirlah pribadi-pribadi yang siap menjadi saksi kehadiran Allah, menghadirkan damai dan keselamatan bagi masyarakat dan dunia. Oleh karena itu, marilah kita merayakan Natal bukan sekadar dengan lilin yang menyala atau lagu yang merdu, melainkan dengan hati yang terbuka, keluarga yang penuh kasih, dan hidup yang menjadi kesaksian nyata. Di sanalah Allah berdiam, di sanalah Kristus lahir kembali setiap hari, dan di sanalah keselamatan senantiasa dinyatakan. Keluarga yang demikianlah yang layak menapaki tahun baru 2026 dengan sukacita. Semoga keluarga-keluarga Kristiani, melalui kehadiran Allah, menjadi BERKAT yang nyata bagi keluarga-keluarga lainnya.
✨ Selamat Natal 2025 & selamat menyongsong Tahun Baru 1 Januari 2026: Damai & Kasih Kristus hadir di tengah keluarga kita, dan dari keluarga kita, Damai & Kasih itu mengalir bagi dunia di Tahun Baru 2026. Semoga!!!


Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.