Advertisement
Scroll Keatas Untuk Lanjutkan Membaca
BREAKING NEWS

Renungan Katolik Minggu, 05/10/2025 : Terima Kasih : Mudah Diucap, Sulit Dilakukan

   
Renungan Katolik Minggu, 05/10/2025 : Terima Kasih : Mudah Diucap, Sulit Dilakukan

Renungan Katolik Minggu, 05/10/2025 : Terima Kasih : Mudah Diucap, Sulit Dilakukan

Renungan Katolik Minggu, 05/10/2025 : Terima Kasih : Mudah Diucap, Sulit Dilakukan

Oleh : Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK


Terima kasih adalah dua kata sederhana yang akrab di telinga setiap orang. Namun, di balik kemudahannya untuk diucapkan, tersimpan tantangan besar untuk sungguh dilakukan dengan tulus. Demikian pesan utama dalam renungan Minggu Biasa XXVII, Minggu (05/10/2025) yang bertajuk “Terima Kasih: Mudah Diucap, Sulit Dilakukan.”


“Salve, bagimu para saudaraku yang terkasih dalam Kristus Tuhan.” Sebuah ajakan penuh damai untuk merenungkan makna syukur dan kerendahan hati dalam kehidupan sehari-hari.


Terinspirasi dari Injil Lukas 17:5–10, renungan ini mengangkat kisah Yesus yang menasihati para murid tentang sikap seorang hamba yang melaksanakan tugasnya tanpa menuntut pujian. Seorang hamba sejati, kata Yesus, tidak mencari balasan, melainkan melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rendah hati dan penuh rasa syukur.


Dalam konteks hidup modern, pesan ini menjadi sangat relevan. Banyak orang cenderung lupa mengucapkan terima kasih kepada mereka yang berbuat baik—yang hadir, menolong, atau peduli tanpa pamrih. Padahal, kata “terima kasih” bukan sekadar bentuk sopan santun, melainkan cerminan hati yang tahu bersyukur dan menghargai sesama.


Renungan ini juga mengingatkan pentingnya tiga kata bijak lain: “minta maaf,” “minta tolong,” dan “permisi.” Keempat ungkapan ini mencerminkan karakter dan kerendahan hati seseorang. Namun, dalam praktiknya, sering kali manusia justru enggan melakukannya karena alasan gengsi, ego, atau luka batin yang belum disembuhkan.


“Betapa mudahnya kata ‘maaf’ terucap, tetapi betapa sulitnya melakukannya,” demikian salah satu refleksi yang menohok. Sama halnya dengan “minta tolong” dan “permisi”, dua kata yang mengingatkan bahwa manusia tidak hidup sendiri—kita saling membutuhkan dan saling menghormati batas satu sama lain.


Renungan ini kemudian menantang umat untuk merenung lebih dalam:

Apakah kita benar-benar rendah hati? Apakah kita memiliki kecerdasan spiritual dan emosional yang sehat? Ataukah kita hanya cerdas secara intelektual, tetapi hati kita belum cerdas?


Yesus, melalui Injil hari ini, mengundang setiap orang beriman untuk menjadi hamba yang tahu diri, tahu bersyukur, dan tahu menghargai. Bukan karena ingin dipuji, tetapi karena itulah jati diri seorang yang beriman.


Menutup renungan, disampaikan harapan agar setiap orang memiliki kepekaan hati, kerendahan hati, dan rasa syukur yang mendalam dalam menjalani hidup sehari-hari.


Sebagai bahan perenungan, diajukan tiga pertanyaan reflektif:


1. Apakah aku sudah terbiasa mengucapkan “terima kasih” dengan tulus?

2. Mengapa aku masih sulit meminta maaf, minta tolong, atau berkata “permisi”?

3. Bagaimana aku bisa melatih kecerdasan hati agar lebih peka dan bersyukur?

Selamat berefleksi dan selamat berhari Minggu. Tuhan Memberkati 🙏




Add Comment

Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.


©2020 — NUSA PAGI