![]() |
Oleh: Laurensius Bagus, Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta |
Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi salah satu wilayah dengan tantangan terbesar dalam pelayanan kesehatan. Di tengah keterbatasan fasilitas dan infrastruktur, ribuan tenaga kesehatan kontrak terus bekerja melayani masyarakat di daerah terpencil, meski tanpa kepastian status dan jaminan kerja.
Ketimpangan dalam Pelayanan Kesehatan
NTT masih menjadi provinsi dengan rasio tenaga kesehatan per penduduk yang rendah di Indonesia. Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2024 dari Kementerian Kesehatan, rata-rata hanya terdapat 1 dokter untuk setiap 7.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan 1:1.000. Sementara itu, dari total 1.140 puskesmas di NTT, sekitar 40 persen berada di daerah terpencil yang sulit diakses transportasi umum (Data Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 2024).
Pusat layanan kesehatan tingkat pertama ini juga menghadapi persoalan kekurangan tenaga. Dari sekitar 6.200 tenaga medis kontrak dan honorer di NTT, lebih dari separuh bekerja tanpa status kepegawaian tetap. Mereka mengandalkan insentif daerah atau dana kapitasi BPJS yang tidak menentu. Kondisi ini diperburuk dengan lambatnya proses pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN atau PPPK.
Kebijakan yang Belum Menyentuh Akar Masalah
Kementerian Kesehatan memang telah menggelar berbagai program, seperti Nusantara Sehat dan Tenaga Medis Penugasan Khusus (TMPK). Namun, cakupannya terbatas. Berdasarkan data Kemenkes 2024, hanya sekitar 320 tenaga kesehatan penugasan khusus yang aktif di seluruh NTT—jumlah yang tidak sebanding dengan kebutuhan di 3.000-an desa.
Kebijakan pusat juga sering kali tidak memperhitungkan karakter geografis NTT sebagai provinsi kepulauan. Transportasi antarpulau dan antarwilayah membuat distribusi tenaga medis tidak efisien. Di Kabupaten Sabu Raijua, misalnya, satu dokter umum harus melayani lebih dari 15 ribu penduduk, sementara di Manggarai Timur tenaga medis justru menumpuk di wilayah kota.
Berdasarkan data BPS NTT Maret 2024, 19,48 persen penduduk NTT masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 37 persen rumah tangga belum memiliki akses air bersih layak. Ketimpangan ini memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, terutama pada ibu hamil, balita, dan lansia.
Antara Dedikasi dan Kerapuhan Sistem
Tenaga kesehatan kontrak di NTT kerap dihadapkan pada dilema: bertahan dengan idealisme atau mencari kepastian hidup di kota besar. Dalam laporan UNICEF Indonesia 2023, disebutkan bahwa tingkat “retensi” tenaga medis di daerah 3T di NTT hanya sekitar 48 persen dalam dua tahun pertama. Artinya, lebih dari separuh tenaga medis yang dikirim ke wilayah terpencil memilih pindah sebelum masa tugas berakhir.
Selain faktor ekonomi, keamanan juga menjadi persoalan. Di beberapa wilayah perbatasan seperti Belu dan Alor, petugas medis sering menghadapi kendala logistik, cuaca ekstrem, hingga ketiadaan fasilitas dasar seperti listrik dan komunikasi.
Namun, di tengah keterbatasan itu, banyak tenaga medis tetap memilih bertahan. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” ujar Yosef, perawat di Pulau Pantar, Alor, yang telah sepuluh tahun melayani tanpa status ASN. Dedikasi mereka sering tidak tampak di data statistik, tetapi menjadi denyut kemanusiaan yang menjaga pelayanan dasar tetap hidup.
Arah Solusi: Keadilan Akses dan Kepastian Kerja
Krisis tenaga medis di NTT tidak bisa diatasi dengan rekrutmen semata. Diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih berkeadilan dan berbasis konteks lokal. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu membangun mekanisme distribusi tenaga medis berbasis insentif wilayah — tenaga yang bertugas di daerah terpencil harus mendapatkan tunjangan dan jaminan sosial yang memadai.
Kedua, penting adanya reformasi status kepegawaian tenaga kontrak agar tenaga medis tidak lagi hidup dalam ketidakpastian hukum dan ekonomi. Data Kemenpan RB (2024) menunjukkan bahwa sekitar 64 persen tenaga medis kontrak di Indonesia masih menunggu kejelasan status ASN atau PPPK.
Ketiga, perlu ada investasi serius pada infrastruktur dasar kesehatan, seperti listrik, air bersih, dan transportasi antarpulau. Tanpa fondasi ini, setiap kebijakan kesehatan akan berhenti di atas kertas.
Akhirnya, kesehatan di NTT bukan semata urusan medis, melainkan persoalan keadilan sosial. Dedikasi para tenaga medis di pulau-pulau terpencil adalah cermin bahwa pelayanan publik tidak boleh tunduk pada jarak dan geografis. Negara harus hadir bukan hanya dengan program, tetapi dengan kepastian dan penghargaan atas kerja kemanusiaan yang nyata.
Sumber Data (Terverifikasi):
1. Kementerian Kesehatan RI _Profil Kesehatan Indonesia 2023 & 2024_
2. Dinas Kesehatan Provinsi NTT _Laporan Tahunan Kesehatan NTT 2024_
3. Badan Pusat Statistik NTT _NTT dalam Angka 2024_
4. Kementerian PAN-RB _Data Status Tenaga Honorer 2024_
5. UNICEF Indonesia _Health Workforce Report 2023_
6. WHO Indonesia _Health Access in Archipelagic Regions,_ 2023
Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.