Advertisement
Scroll Keatas Untuk Lanjutkan Membaca
BREAKING NEWS

Renungan Minggu Adven IV, 20 Desember 2025 : Belajar Integritas dari Santo Yusuf

   
Renungan Minggu Adven IV, 20 Desember 2025 : Belajar Integritas dari Santo Yusuf

Renungan Minggu Adven IV, 20 Desember 2025 : Belajar Integritas dari Santo Yusuf

Renungan Minggu Adven IV, 20 Desember 2025 : Belajar Integritas dari Santo Yusuf
Oleh : Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK


Salve, saudara-saudari terkasih dalam Kristus Tuhan. Apakah kita termasuk pribadi yang berintegritas? Integritas dalam kehidupan sehari-hari bukan sekadar konsep ideal atau kata-kata indah, melainkan keselarasan antara apa yang kita ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Integritas menuntut kejujuran batin: tidak lain di bibir, lain di hati, dan lain pula dalam perbuatan.


Pada hari Minggu Adven IV ini, Gereja mengajak kita merenungkan Injil Matius 1:18–24 tentang kelahiran Yesus Kristus. Dalam bacaan ini, kita diperkenalkan pada sosok Santo Yusuf, seorang pria sederhana, namun memiliki kedalaman iman dan integritas yang luar biasa.


Yusuf menghadapi situasi yang amat sulit. Maria, tunangannya, mengandung, dan Yusuf tahu bahwa anak itu bukan berasal darinya. Dalam konteks budaya dan hukum Yahudi saat itu, keadaan ini bukan hanya memalukan, tetapi juga berpotensi membawa hukuman berat bagi Maria. Hati Yusuf tentu dilanda badai emosi: kecewa, terluka, bingung, dan mungkin marah. Namun justru di tengah krisis itulah karakter sejati Yusuf terungkap.


Dari Santo Yusuf, kita belajar bahwa integritas sejati tidak diuji ketika hidup berjalan lancar, melainkan ketika hati terluka dan pikiran kacau. Injil hari ini memperlihatkan setidaknya empat tanda integritas dalam diri Yusuf.


Pertama, berpikir jernih di tengah badai emosi.

Yusuf tidak membiarkan rasa sakit hati dan amarah menguasai dirinya. Ia menahan diri dari keputusan impulsif. Ia tidak bereaksi secara gegabah, meski memiliki alasan yang kuat untuk marah. Integritas menuntut kemampuan untuk mengendalikan diri, terutama saat emosi memuncak.


Kedua, berbelas kasih, bukan hanya benar secara hukum.

Secara hukum Taurat, Yusuf memiliki hak untuk mempermalukan Maria. Namun ia memilih jalan kasih: menceraikan Maria secara diam-diam. Yusuf mengutamakan keadilan yang memulihkan, bukan yang menghancurkan. Di sinilah kasih melampaui sekadar kebenaran legal.


Ketiga, terbuka pada pencerahan ilahi.

Yusuf sebenarnya telah mengambil keputusan yang menurutnya baik. Namun ketika Tuhan berbicara melalui malaikat dalam mimpi, Yusuf bersedia mengubah rencananya. Integritas bukanlah kekakuan mempertahankan kehendak sendiri, melainkan kerendahan hati untuk dikoreksi oleh kebenaran Allah.


Keempat, ketaatan tanpa tunda.

Setelah menerima pesan Tuhan, Yusuf tidak menunda. Ia segera bertindak dan menerima Maria sebagai istrinya. Ketaatan itu bukan tanpa risiko: ia harus menanggung cemooh dan ketidakpahaman masyarakat. Namun di situlah integritas mencapai puncaknya—bukan hanya pada niat baik, tetapi pada tindakan nyata.


Pesan bagi kita

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering menghadapi berbagai “krisis”: konflik keluarga, kekecewaan, luka batin, atau keputusan sulit yang menuntut keberanian. Santo Yusuf mengajarkan bahwa integritas adalah:

karakter yang diuji dalam krisis dan dibuktikan dalam ketaatan;

kekuatan untuk berbelas kasih ketika kita sebenarnya punya hak untuk menghakimi;

kerendahan hati untuk membiarkan Tuhan mengubah rencana kita;

keberanian untuk taat meski jalan itu tidak mudah dipahami orang lain.


Integritas sejati bukan tentang tidak pernah terluka, tetapi tentang merespons luka dengan belas kasih dan pengampunan. Bukan tentang tidak pernah bingung, melainkan tentang membiarkan Tuhan menuntun kita dalam kebingungan. Bukan tentang dipahami oleh dunia, tetapi tentang setia pada panggilan surgawi. Di dunia yang sering memaksa kita memilih antara “tegas tanpa kasih” atau “toleran tanpa kebenaran”, Santo Yusuf menunjukkan jalan ketiga: tegas dalam prinsip, lembut dalam cara, dan selalu terbuka dipimpin oleh Tuhan.


Pertanyaan Refleksi

Saat emosi melanda, marah, kecewa, atau sakit hati, apakah saya mampu tetap berpikir jernih dan tidak bertindak impulsif?


Ketika saya memiliki “hak” untuk menghakimi orang lain, apakah saya memilih jalan belas kasih seperti Yusuf?


Apakah saya terbuka untuk dikoreksi oleh Tuhan dan berani taat, meski keputusan itu sulit dipahami oleh orang lain?


Doa Singkat

Tuhan, ajarilah kami menjadi pribadi yang berintegritas seperti Santo Yusuf: jernih dalam berpikir, penuh belas kasih, rendah hati untuk mendengar suara-Mu, dan berani taat tanpa menunda. Amin.

Selamat berefleksi dan selamat berhari Minggu. 

Add Comment

Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.


©2020 — NUSA PAGI