![]() |
Oleh : T.H. Hari Sucahyo Umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas Semarang |
Di tengah guncangan dunia modern: ketidakpastian sosial, konflik geopolitik, relativisme moral, serta tantangan internal Gereja sendiri, Paus Leo mengajak umat beriman untuk kembali menemukan pusat gravitasi spiritualnya. Penekanan pada kesatuan iman menjadi refleksi dari apa yang pernah diletakkan oleh para Bapa Konsili Nicea bahwa Gereja hanya dapat berdiri kokoh jika seluruh bagiannya terpaut pada kebenaran yang satu, sebagaimana dinyatakan dalam kredo yang hingga kini diwartakan di seluruh dunia.
Dalam In unitate fidei, Paus Leo merangkum ajaran dan arah pastoralnya dalam dua belas poin yang tidak dimaksudkan sebagai formula doktrinal baru, melainkan sebagai penggaris jalan yang memperkokoh apa yang telah diwariskan sepanjang abad. Dua belas poin itu, walaupun ringkas, membawa kedalaman spiritual dan teologis yang luas, seperti sebuah kompas bagi umat beriman yang berjalan dalam dunia yang sering kali kehilangan orientasi.
Paus Leo menggarisbawahi bahwa kesatuan iman bukan berarti keseragaman mekanis, tetapi harmoni batin yang berakar pada Kristus. Ia menegaskan bahwa identitas umat Kristiani pada akhirnya hanya dapat dijaga jika tetap berpaut pada inti iman yang dirumuskan 1700 tahun lalu, ketika para Bapa Konsili Nicea menetapkan bahwa Kristus adalah “Allah benar dari Allah benar,” sebuah deklarasi yang membentengi Gereja dari segala bentuk pengaburan iman.
Dalam narasi suratnya, Paus Leo mengajak umat untuk mengenang kembali suasana sejarah Konsili Nicea, di mana Gereja menghadapi ancaman perpecahan yang serius akibat ajaran-ajaran yang mengaburkan keilahian Kristus. Pada saat itu, para uskup dari berbagai penjuru dunia berkumpul dengan tekad yang sama: menjaga kemurnian iman agar tidak tercecer oleh pandangan pribadi atau tekanan kekuasaan duniawi.
Konsili Nicea bukan hanya sebuah peristiwa akademik teologis, melainkan sebuah tindakan pastoral besar yang menyatukan Gereja di bawah terang kebenaran Injil. Melalui In unitate fidei, Paus Leo mendorong umat beriman untuk melihat bagaimana keseriusan para Bapa Gereja itu harus menginspirasi keseriusan umat pada masa kini, yang juga menghadapi berbagai bentuk relativisme dan distorsi iman.
Kedua belas poin yang disampaikan Paus Leo mencakup ajakan untuk memperkokoh hidup doa, memperdalam pemahaman akan Kitab Suci, memperkuat kesadaran akan sakramen sebagai sumber kehidupan rohani, serta membangun budaya dialog yang sejati tanpa mengorbankan kebenaran iman.
Ia mengingatkan bahwa dialog bukanlah kompromi nilai, melainkan pertemuan dalam kejujuran dan kerendahan hati. Paus Leo menyoroti bahwa di era globalisasi, Gereja tidak dapat menutup diri, tetapi juga tidak boleh hanyut oleh arus ideologis yang mengikis esensinya. Dengan demikian, Gereja harus berdiri sebagai saksi kebenaran yang menuntun, bukan mengikuti tekanan zaman.
Paus Leo menulis bahwa perjalanan apostoliknya ke Turki memiliki makna yang sangat simbolis. Di tanah tempat Konsili Nicea pernah berlangsung, Gereja diundang untuk kembali mengingat bahwa akar persatuan iman tidak terletak pada kekuatan politik atau struktur sosial, tetapi pada perjumpaan sejati dengan Kristus.
Sebagaimana para Bapa Konsili Nicea datang dari berbagai budaya dan latar belakang, demikian pula Gereja kini dipanggil untuk merangkul keberagaman sambil berakar kuat pada iman yang satu. Paus Leo menegaskan bahwa “iman tanpa kesatuan hanyalah gema kosong,” dan bahwa kesatuan tanpa iman adalah bangunan rapuh yang sewaktu-waktu dapat runtuh.
Surat Apostolik tersebut menyoroti pula pentingnya pembaruan rohani bagi para pelayan Gereja. Paus Leo menekankan bahwa para imam, diakon, biarawan, dan seluruh pelayan pastoral harus menjadi saksi hidup dari apa yang diajarkan Gereja. Kesatuan iman tidak dapat ditegakkan hanya melalui dokumen atau pengajaran formal, tetapi melalui kesaksian hidup yang konkret, melalui keramahan, keteladanan moral, dan kesetiaan dalam pelayanan.
Paus Leo menunjukkan bahwa tantangan zaman modern menuntut para pelayan Gereja untuk hidup lebih autentik, lebih transparan, dan lebih berbelarasa, agar umat dapat melihat bahwa ajaran Gereja benar-benar menjadi sumber pengharapan, bukan sekadar konsep abstrak.
Seruan Paus Leo tidak berhenti pada ranah internal Gereja. Ia menekankan bahwa dunia yang terluka akibat konflik dan polarisasi membutuhkan kehadiran Gereja sebagai tanda persaudaraan universal. Dalam dua belas poinnya, ia menyerukan pentingnya keterlibatan sosial umat Kristiani, tanpa melupakan akar rohaninya.
Gereja, menurutnya, harus hadir sebagai pelita di tengah gelapnya kebingungan moral dan sosial. Namun, pelita itu hanya akan menyala terang jika Gereja menjaga kesatuan dalam identitas imannya. Tanpa itu, Gereja berisiko menjadi sekadar instansi sosial yang kehilangan kekuatan transendentalnya.
Dalam bagian penutup In unitate fidei, Paus Leo dengan nada lembut namun tegas menyampaikan harapannya agar seluruh Gereja menyambut peringatan 1700 tahun Konsili Nicea bukan hanya sebagai momen sejarah, tetapi sebagai kesempatan rohani untuk memperbarui antusiasme dalam pengakuan iman.
Ia mengajak umat untuk membaca kembali kredo Nicea-Konstantinopel dengan hati yang terbuka, bukan sekadar sebagai rumusan doktrinal, tetapi sebagai doa yang menghidupkan kembali relasi dengan Allah yang satu dan tritunggal. Bagi Paus Leo, antusiasme dalam pengakuan iman bukanlah bentuk fanatisme, melainkan kesediaan untuk mencintai kebenaran dengan seluruh keberadaan.
In unitate fidei menjadi sebuah jembatan antara masa lalu dan masa kini, sebuah seruan agar Gereja tidak melupakan sumber kekuatannya. Dua belas poin yang disampaikan Paus Leo bukanlah perintah baru, tetapi ingatan kolektif umat yang menegaskan kembali bahwa Gereja hanya dapat berjalan dengan teguh jika tetap setia pada inti imannya. Kesatuan iman adalah anugerah sekaligus tugas, dan panggilan untuk memeliharanya adalah panggilan bagi setiap generasi.
Dengan surat apostolik ini, Paus Leo mengundang seluruh Gereja untuk memasuki fase baru perjalanan rohaninya: fase yang penuh harapan, keberanian, dan kesetiaan, sebagaimana telah dicontohkan oleh para Bapa Konsili Nicea berabad-abad lalu. Dalam semangat itulah Gereja kini melangkah, dengan doa agar perjalanan apostolik ke Turki dan seluruh gerakan rohani yang menyertainya menjadi tanda kesegaran baru dalam kesatuan iman yang tak lekang oleh waktu.
_________


Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.