![]() |
Piche Kota Konser di Lapangan Brimob Ende Dalam Momentum HUT SMKN 1 Ende yang ke - 60 (Foto : istimewa) |
Ende - Nusapagi.com || Malam itu, Minggu (28/9/2025), langit Ende seakan menyulut bara rindu yang lama terpendam. Di Lapangan Brimob, Mautapaga, ribuan jiwa menyatu dalam gelombang euforia. Mereka bukan sekadar menunggu konser, tetapi menanti perjumpaan dengan sosok yang telah mereka titipkan doa dan kebanggaan : Piche Kota.
Dari kejauhan, cahaya panggung menorehkan siluet (bayangan samar - samar) seorang pria sederhana, namun penuh kharisma. Ia melangkah, memegang gitar, dan dalam sekejap seluruh lapangan seolah terdiam. Hanya detak jantung ribuan orang yang terdengar, menanti setiap kata dan nada.
Piche bukan hanya artis jebolan Indonesian Idol Season XIII. Ia adalah anak perantauan yang darahnya bercampur dari Flores, Sumba, dan Timor darah yang pekat dengan kisah, perjuangan, dan tanah leluhur. Dari Atambua ia lahir, namun malam itu ia pulang, menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Ende tanah kakeknya, tanah bapanya, tanah asal yang ia panggil rumah.
“Saya orang Ende. Rumah kami di Wolokota. Kakek saya orang Wolokota yang melahirkan bapa saya yang ganteng ini,” katanya lantang, dan sontak sorak serta tepuk tangan meledak, mengguncang langit malam. Itu bukan sekadar kalimat, melainkan pengakuan cinta pada akar, pada tempat di mana cerita dimulai.
Panggung tiba-tiba berubah khusyuk ketika Piche memetik gitar dan menyanyikan lagu daerah Ende Lio, “Gaga Bo’o Kewi A’e”. Suaranya dalam, merambat seperti angin yang menyapu bukit, lalu menukik ke hati siapa saja yang mendengarnya.
Hening. Ribuan pasang mata berkaca-kaca. Lagu itu bukan hanya hiburan, melainkan doa yang mengikat kembali anak-anak rantau pada rumahnya, menyatukan jiwa-jiwa yang lama tercerai berai oleh laut, gunung, dan benua. Dalam hentakan gawi, Piche seolah berkata: “Aku putra Ende Lio. Musik adalah bahasa persatuan. Kita semua satu dalam tanah yang sama.”
Malam itu, Ende tak hanya mendengar musik. Ende sedang memeluk pulang seorang anaknya.
Ketika gemerlap panggung biasanya membuat artis besar tampak jauh dari penontonnya, Piche justru berjalan ke arah sebaliknya: mendekat.
Ia memberikan tiket VIP khusus untuk Bapa Dominggus, seorang difabel yang dengan polos bercerita bahwa ia telah mendukung Piche sejak langkah pertama di Indonesian Idol. Saat bertemu, mata Piche berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat, seakan berkata: “Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Tak lama, seorang anak kecil tiba-tiba berlari memeluknya di tengah lagu. Alih-alih terkejut, Piche tersenyum, merangkul dengan lembut, lalu mengangkat tangan kecil itu untuk tos. Sontak lapangan bergemuruh. Ribuan orang menyaksikan betapa ketenaran tak pernah merampas kasih dari dirinya.
Netizen menuliskan setelah konser itu: “Ketua memang beda. Selalu rendah hati, selalu baik. Terbanglah setinggi langit, Piche.”
Konser ulang tahun ke-60 SMKN 1 Ende ini akhirnya dikenang bukan sekadar pesta musik, melainkan sebuah peristiwa budaya. Malam itu, masyarakat Ende bersaksi: seorang anak bangsa, setenar apa pun dirinya, tidak pernah lupa pada tanah leluhur.
Ende tak hanya menjadi penonton, tapi juga rumah yang merangkul. Dalam sorak, dalam tangis haru, dalam hentakan kaki gawi, Piche Kota menorehkan jejak yang tak akan mudah hilang: bahwa musik bisa menjadi doa, bahwa pulang ke kampung halaman selalu adalah panggung yang paling agung.***(NP/Efrid Bata)
Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.