HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Urgensitas Bandara Perintis Mengakselerasi Pembangunan Daerah yang Kompetitif

Justin Djogo bersama Ilham Habibie, pakar pesawat terbang (foto : istimewa)

Penulis : Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara/FDN, Deputi Kajian Politik dan Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar)

Sersan Udara Albert Eduard Stoové, indo kelahiran Yogyakarta (Hindia Belanda), baru berusia 22 tahun ketika menjadi tawanan Jepang. Penerbang muda dari Angkatan Darat Hindia Belanda dalam satuan skuadron 2-VLG-V pimpinan Kapten Jacob Pieter van Helsdingen, sudah kenyang baku kirim torpedo di udara, melawan Jepang pada awal Perang Dunia II. Namun segalanya berubah, ketika Belanda menyerah tanpa syarat melalui kapitulasi Hindia Belanda pada 8 Maret 1942. 

Stoové dipenjara di beberapa Kamp POW Jepang. Salah satu yang paling lama, di kamp interniran (POW, Prisoners of War) di Pulau Flores. Di Flores, Sersan Stoové adalah satu dari sekitar 1200 prajurit Eropa, yang pada 1943 membangun bandara untuk Angkatan Udara Jepang di Mbay, bernama Sissa River Field (Aerodrome). 

Berdasarkan dokumen lapangan berklasifikasi internal, Sissa River Field sebagai shadow airfield, dinamakan Surabaya II. Sebab, Jepang mengidentifikasi Mbay sebagai lokasi bandara penting kedua –dengan luas konstruksi awal 1.219,2 m × 106,68 m—, selain Morotai. 

Setelah delapan dekade, Bandara Surabaya II di Mbay seolah terlupakan. Ia hanya dianggap sebagai onggokan dari serpihan bangunan militer. Tapi kini Surabaya II bangun dari tidur lelapnya, menjadi momentum bagi Kabupaten Nagekeo tempat Mbay berada dan Bandara Surabaya II berdiri, untuk membuktikan diri sebagai titik vital sejarah. Tak hanya di tengah debu dan mesiu pertempuran Perang Dunia II, tapi juga dalam mengakselerasi pembangunan daerah maupun bagian timur Indonesia.

Geopolitik Pulau Flores secara Umum

Flores, jika dilihat dari ketinggian drone pemetaan pertahanan tahun 2023, adalah sebuah anomali geografis yang luar biasa. Pulau ini membentang di antara sumbu logistik ASEAN dan Pasifik, diapit oleh celah-celah laut dalam, dengan potensi menjadi simpul mobilitas strategis antara kawasan Indonesia Tengah dan Timur.

Krisis iklim yang kian mendesak justru memberi argumen tambahan bagi urgensitas bandara perintis. Badai, hujan ekstrem, dan tanah longsor telah berkali-kali menutup jalur darat di Flores. Ketika jalan antara Ende dan Bajawa tertutup dua minggu pada Februari 2021, satu-satunya bantuan medis datang dari udara. Saat pandemi memuncak, oksigen hanya bisa sampai ke RSUD Ruteng lewat pesawat kargo kecil dari Labuan Bajo. Maka, bandara bukan sekadar fasilitas. Ia adalah simpul kemanusiaan.

Perubahan iklim mempercepat kebutuhan infrastruktur udara yang adaptif. Bukan hanya untuk melayani penumpang, tetapi juga mendukung sistem mitigasi bencana. Flores rawan gempa, longsor, dan tsunami. Maka bandara perintis harus dilihat sebagai pos pemulihan, bukan sekadar tempat keberangkatan.

Dalam rencana besar Indo-Pacific Strategy Amerika Serikat dan konsep Poros Maritim Dunia Indonesia, kawasan timur Indonesia akan menjadi zona buffer bagi pengaruh regional. Flores, dalam banyak telaah militer, dianggap sebagai “balcony of observation” untuk memantau pergerakan kapal asing di Selatan dan Timur. Maka, penguatan bandara di sana bukan hanya untuk turis, tetapi untuk menjaga laut kita dari keterasingan strategis.

Australia, dalam dokumen Defence Strategic Review 2023, menyebut “tactical interoperability with archipelagic Southeast Asia” sebagai agenda utama. Dalam istilah yang lebih sederhana: mereka butuh mitra untuk patroli udara dan pengawasan laut yang cepat. Bandara kecil di Flores bisa menjadi terminal rotasi pasukan gabungan jika darurat datang.

Begitu pula TNI. Rencana jangka panjang Kodam IX/Udayana dan Koopsud II mencantumkan Flores sebagai wilayah “interoperabilitas logistik”. Artinya, satu helipad di Bajawa bisa menyambungkan misi kemanusiaan dari Kupang ke Fakfak, satu radar di Mbay bisa mendeteksi pergerakan dari Laut Timor hingga perairan Aru. Tapi semua itu butuh fondasi yang kokoh: landasan yang bisa menopang semua kemungkinan.

Sementara itu, masyarakat sipil juga bergerak. Di Ende, sekelompok pemuda mengusulkan agar Bandara H. Hasan Aroeboesman dibuka untuk penerbangan malam. Di Maumere, gereja lokal bersinergi dengan LSM lingkungan untuk memanfaatkan pesawat kecil mengangkut hasil panen organik ke Bali. Di Riung, nelayan mulai menulis petisi agar jalur logistik udara diperkuat agar harga es batu tidak berlipat ganda karena keterlambatan.

Semua narasi ini bermuara pada satu kalimat penting: membangun bandara perintis bukanlah soal membangun untuk keuntungan maskapai, tetapi membangun untuk kehidupan.

Masa depan Flores tidak bisa terus menunggu giliran dalam pembangunan. Ia harus dilibatkan dalam desain strategis nasional. Karena jika tidak, celah-celah kosong dalam infrastruktur akan menjadi celah bagi perpecahan, keterlambatan, bahkan ketidakadilan.

Bisa jadi, geostrategi dan geoekonomi tidak selalu berjalan di jalur yang sama. Yang satu bicara ancaman jangka panjang. Yang lain bicara ketahanan jangka pendek. Tapi Flores mengandung keduanya.

Dalam simulasi militer gabungan yang digelar oleh Australia dan Indonesia pada tahun 2019, Flores disimulasikan sebagai jalur pendaratan helikopter medis dan evakuasi sipil dari zona konflik di Timor. Ini bukan fiksi. Ini adalah skenario resmi dalam kerjasama dua negara. Maka jika infrastruktur udara di Flores lemah, sistem pertahanan kita ikut melemah.

Terkait Terkait dokumen Defence Strategic Review (DSR) 2023 Australia: yang menyebut tactical interoperability with archipelagic Southeast Asia sebagai prioritas.https://www.defence.gov.au/about/reviews-inquiries/defence-strategic-review-2023 

Bandara adalah pertaruhan antara negara dan masyarakat. Ia bisa menjadi simbol kemajuan, atau jadi monumen ketidakpedulian. Flores telah lama memberikan dirinya sebagai saksi sejarah: dari landasan militer Jepang yang dibangun paksa, hingga jejak para misionaris, bahkan pertemuan lintas budaya dan agama. Kini, Pulau Flores tinggal menunggu: apakah negara bersedia menghargai semua itu, dengan sehelai aspal yang dibangun bukan karena pesanan investor? Melainkan karena cinta pada peradaban yang adil.

Geoekonomi dan Geostrategi Bandara Surabaya II di Mbay-Nagekeo 

Dalam kerangka besar geostrategi kawasan timur Indonesia, posisi Flores tidak bisa lagi dibaca sebagai periferi. Flores adalah jembatan tak kasatmata antara poros tengah Nusantara dan batas-batas Pasifik Selatan. Ia menghadap langsung ke Laut Sawu, Laut Banda, dan berbatasan secara simbolik dengan sirkulasi militer strategis antara Darwin, Timor, dan Biak.

Dokumen perencanaan pertahanan kawasan timur yang bersumber dari arsip-arsip TNI dan analisis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa wilayah Flores termasuk dalam zona “secondary air defense buffer” untuk pelindungan terhadap pangkalan strategis di Kupang dan Makassar. Artinya, pembangunan bandara perintis di wilayah ini bukan semata keinginan lokal, melainkan bagian dari kalkulasi proteksi udara menyeluruh Indonesia timur.

Geostrategi memerlukan pangkalan depan—dan dalam konteks ini, bandara di Flores adalah tiang-tiang pengintai yang bisa dimobilisasi dalam waktu singkat. Karena itu, dalam revisi peta komando kewilayahan TNI AU tahun 2018, Flores ditempatkan dalam cakupan operasi dari pangkalan udara Hasanuddin dan El Tari. Artinya, jika terjadi kontingensi di wilayah selatan, Flores akan menjadi titik pemulihan atau pendaratan taktis.

Tetapi kekuatan strategis tak akan bertahan lama jika tak ditopang kekuatan ekonomi.

Geoekonomi Flores secara umum, bergantung pada tiga hal utama: pariwisata skala internasional, hasil laut dan agrikultur tropis, serta industri kecil-menengah yang terintegrasi ke dalam rantai logistik timur Indonesia. Semua ini membutuhkan jalur udara yang lebih dari sekadar landasan aspal.

Produk ikan dari Larantuka tak bisa bertahan dua hari dalam kontainer terbuka. Vanili dan kemiri dari Bajawa harus sampai ke Surabaya dalam waktu tak lebih dari 12 jam setelah panen. Dan pengusaha madu hutan di Riung hanya bisa bertahan jika pengiriman cepat dari Maumere tersedia setiap pekan. Maka, bandara bukan fasilitas tambahan—ia adalah urat nadi.

Di balik statistik BPS yang kadang kering, ada wajah-wajah manusia yang menggantungkan hidup pada frekuensi penerbangan. Ketika harga avtur naik dan subsidi dicabut, satu penerbangan ke Ruteng dibatalkan, maka satu rantai pasokan putus. Seorang ibu kehilangan pasar. Seorang guru kehilangan pelatihan. Dan seorang pasien kehilangan waktu emas untuk operasi yang tertunda.

Maka ketika negara membangun bandara Surabaya II di Flores, artinya Indonesia sedang menulis ulang kontrak sosial dengan masyarakat timur: bahwa pembangunan bukan hanya milik barat. Bahwa negara hadir bukan hanya di Jakarta. Bahwa anggaran tak hanya mengalir ke megaproyek, tapi juga ke terminal-terminal kecil tempat orang berharap.

Di Nagekeo, pemerintah lokal tengah memperjuangkan status bandara lokal agar bisa masuk kategori “Bandara Kelas III strategis”. Ini akan membuka akses pada insentif fiskal, peningkatan navigasi, dan jaminan keamanan terbang. 

Dan dalam dunia yang semakin tidak stabil—dengan ketegangan Laut Cina Selatan, penyusupan kapal asing, dan gangguan pada kabel bawah laut—maka bandara perintis Surabaya II di Mbay Kabupaten Nagekeo, bisa menjadi satu-satunya “mata” negara untuk tetap melihat, mendengar, dan bergerak cepat.

Geoekonomi kawasan ini juga akan bertransformasi dengan keberadaan pelabuhan internasional di Kupang dan jalur logistik laut ke Timika. Maka kehadiran bandara sebagai simpul multimoda bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Flores tidak boleh menjadi titik buta.

Pembangunan bandara Surabaya II di Flores adalah bentuk keadilan spasial. Dan ketika keadilan itu ditegakkan melalui infrastruktur, maka bukan hanya ekonomi yang tumbuh—tapi juga martabat daerah yang selama ini dianggap pelengkap.

Mengapa Jepang Memilih Mbay?

Asia di mata Jepang, bagai gudang logistik “gratis”. Istilahnya Southern Resorces Area (SRA). Utamanya Filipina, Malaya, dan Hindia Belanda, menjadi sasaran Jepang demi memutus ketergantungan Jepang terhadap impor minyak dari negara Barat, dari berbagai komoditas dari negara jajahan Barat. Hindia Belanda punya pulau-pulau seperti Sumatra yang memiliki Ladang Minyak Pangkalan Brandan), Kalimantan (Borneo), dan tentunya Jawa sebagai incaran pertama. 

Hindia Belanda juga punya daerah- daerah seperti Flores, Timor, atau Ambon, yang tak kaya minyak, tapi memiliki nilai strategis sebagai penghubung jalur laut. Wilayah timur Hindia Belanda merupakan tempat transit logistik, dan pangkalan militer untuk menjaga perimeter SRA dari serangan balik Sekutu.

Ketika Perang Dunia Ii berubah arah ke Front Pasufik, Jepang menbutuhkan simpul-simpul pengamanan vital dalam jaringan pertahanannya. Suatu “simpul” yang berdiri sunyi namun strategis. Maka sebuah lekukan daratan kecil yang menghadap Laut Flores, menjadi pilihan. Tempat itu kelak dikenal sebagai Mbay, kini ibukota Kabupaten Negekeo di Flores.

Langkah pendirian pangkalan militer Jepang di Mbay bukanlah sebuah kebetulan geografis. Melainkan sebagai bagian dari kalkulasi besar dalam narasi ambisius Jepang: Hakkei Ichiu. Artinya: sebuah dunia dalam satu atap yang digagas Tokyo untuk menjadikan Asia sebagai ruang hidup kolektif, bebas dari kolonialisme Barat. Untuk mewujudkan Hakkei Ichiu, Jepang wajib mengamankan bahan bakar bagi mesin perang, mempertahankan jalur suplai, dan menghalangi setiap upaya Sekutu yang merebut kembali dominasi di Asia.

Pulau Flores tempat Mbay berada, merupakan “gerbang dari selatan” Hindia Belanda. Jika Jepang dapat menguasai Flores, maka dapat menperlambat denyut jantung perlawanan Sekutu. Artinya, Flores bukan sekadar nama atau rumah bagi Komodo. Karena pulau yang selama ini luput dari sorotan geopolitik —tak seperti Burma atau Papua— justru merupakan penjaga senyap dalam perimeter pertahanan. 

Jepang memilih Mbay sebagai titik kunci dalam garis yang membentang dari Filipina, Sulawesi, hingga ke Timor dan Jawa. Jaringan ini ibarat anyaman laba-laba yang membentengi Southern Resource Area: yakni wilayah-wilayah di Asia Tenggara dan Pasifik selatan yang memiliki cadangan sumber daya alam vital. SRA yang dimaksud mulai dari Sumatera dan Kalimantan sebagai sumber minyak utama dan batubara, juga karet dan timah dari Malaya, serta Burma (Myanmar) sebagai penghasil minyak dan batu permata. 

Mbay juga titik tumpu bagi jaringan laba-laba Jepang menuju Filipina sebagai sumber logistik dan jalur strategis maritim, dan Indochina (Vietnam, Laos, Kamboja) jajahan Prancis yang menjadi sumber beras dan jalur darat ke Asia Selatan. Selain itu, Pulau Timor, Pulau Flores, Pulau Papua, dan kepulauan Pasifik, ideal sebagai titik pertahanan laut dan udara Jepang untuk mengakses Australia.

Mbay tidak hanya berfungsi sebagai pangkalan logistik, namun juga sebagai ruang transit militer dan pos pengintai. Di balik rimbunnya hutan tropis, dan ladang ilalang yang kala itu dibuka paksa oleh ribuan romusha, Jepang menanamkan mata dan telinganya. Landasan darurat dibuka, gudang bahan bakar disembunyikan dalam bukit-bukit kapur, dan pos pengawas laut disiagakan 24 jam untuk mendeteksi kapal musuh yang melintas dari arah timur.

Namun lebih dari sekadar instalasi militer, kehadiran Jepang di Mbay adalah cermin dari paradigma perang modern yang mulai memahami nilai geopolitik pulau-pulau kecil. Dalam bayangan besar strategi Jepang, pangkalan di Mbay adalah bagian dari upaya menahan arus balik sejarah. Jepang berharap bahwa kekuatan laut dan udara Sekutu takkan mampu menyentuh jantung sumber daya mereka, sebelum perang mencapai titik balik. (*)

Posting Komentar
Tutup Iklan