Advertisement
Scroll Keatas Untuk Lanjutkan Membaca
BREAKING NEWS

Perjalanan Menjumpai Hatimu || Renungan Katolik

   
Perjalanan Menjumpai Hatimu || Renungan Katolik

Perjalanan Menjumpai Hatimu || Renungan Katolik


P. Kristo Suhardi, SVD


Ende - Nusapagi.com |Perjalanan Yesus memasuki Yerusalem yang kita kenangkan pada Minggu Palma sebenarnya merupakan perjalanan menjumpai kematianNya sendiri. Di gerbang Yerusalem, orang berpekik penuh sukacita, ‘Hosana, Sang Raja Putra Daud’ dan di Yerusalem yang sama, orang-orang yang sama, dalam dengki berteriak, ‘salibkan Dia, salibkan Dia.’ 

Di Yerusalem, orang-orang merelakan baju mereka sebagai alas pijakan keledai yang ditunggangi Yesus, dan di Yerusalem yang sama, orang-orang merampas baju Yesus, mengundi jubahnya, hingga hanya menyisakan sepotong yang menutup tubuhNya.

Di Yerusalem, orang melambaikan daun palma ketika menyambut kedatanganNya dan di Yerusalem yang sama, orang bermain-main dengan cambuk yang menghantam tubuh Yesus. Di gerbang Yerusalem, mereka menyambutNya serupa raja, dan di Yerusalem yang sama, seperti gambaran nabi Yesaya dalam bacaan pertama, IA dinodai, diludahi hingga mati dengan keji.

Kalau demikian, maka perjalanan Yesus memasuki Yerusalem sebenarnya adalah perjalanan Yesus memasuki ruang batin kita masing-masing. Barangkali hati kita juga tidak lebih baik dari hati orang Yerusalem itu. Betapa hati manusia begitu cepat berubah; betapa manusia begitu mudah bersikap muka belakang; betapa antara mencintai dan membenci hampir tidak ada jarak; betapa di dalam diri manusia selalu ada hasrat untuk mencelakai sesamanya.

Kalau perjalanan Yesus memasuki Yerusalem dua ribu tahun lalu, berarti perjalanan Yesus memasuki hati kita masing-masing saat ini: mari kita bertanya dan memeriksa diri: hati macam apa yang akan Yesus temukan di rongga dada kita? Barangkali ia akan menemukan hati serupa hati Yudas, atau hati serupa hati Petrus, atau juga hati serupa hati Simon dari Kirene yang tabah memikul salib Yesus.

Pertama, hati Yudas. Di Yerusalem, kematian itu bermula dari kecupan Yudas. Ia tidak hanya mengkhianati Yesus dengan menjualnya sebagai barang dagangan bernilai 30 keping perak, tetapi juga melukai hati Yesus dengan pahitnya ciuman. Betapa orang begitu mudah menjual sesamanya, betapa kejahatan seringkali dibungkus dengan cara-cara yang indah namun licik. Yudas menjual Yesus 2000 tahun lalu, dan kini, hal itu terulang kembali dalam banyak bentuk. 

Manusia menjadikan sesamanya sebagai barang dagangan. Apa yang kita sebut sebagai perdagangan manusia sebenarnya adalah praktik keji penjualan manusia sebagai budak, juga penjualan organ-organ tubuh dengan harga yang mencapai miliaran rupiah. Hampir setiap hari kita mendengar dan membaca, banyak tenaga kerja Indonesia yang dipulangkan kembali ke Indonesia dalam kondisi tak bernyawa, dengan sebagian organ tubuhnya telah hilang.

Kalau dahulu, Yudas mengkhianati Yesus, saat ini mungkin kita melakukannya dalam bentuk lain. Banyak pasutri yang begitu mudah mengkhinati janji dan martabat perkawinan yang dahulu mereka ucapkan di depan altar. Banyak orangtua begitu mudah mengkhinati perannya sebagai orangtua, ketika ia gagal mewariskan nilai-nilai yang baik dan malah menunjukkan contoh-contoh buruk. 

Banyak orang begitu mudah memberikan janji-janji manis, tetapi begitu cepat pula mengkhianati janji-janji itu. Pengkhianatan-pengkhianatan kita, tidak hanya mengantar Yesus ke salib tetapi juga menyalibkan sesama kita. Yudas menandai pengkhianatannya dengan kecupan, dan pada Jumat Agung nanti, kita semua juga akan memberi kecupan kepada Yesus. Apa arti kecupan kita itu?

Kedua, hati Petrus. Di Yerusalem, Yesus mendapati Petrus, murid kepercayaanNya itu, begitu cepat melupakanNya. Petrus yang pada malam sebelumnya berjanji untuk rela mati demi Yesus, malah menyangkal Yesus hingga kali ketiga. Ketakutan akan kematian rupanya lebih kuat dari perasaan cinta Petrus kepada Yesus. Petrus menyangkal Yesus, ia juga mengingkari janjinya. Penyangkalan Petrus terjadi juga dalam hidup kita saat ini, dalam banyak wujud. 

Ketika kita begitu mudah melupakan dan menyangkal sanak saudara kita hanya karena kesalahpahaman kecil atau karena perbedaan pilihan politik. Ketika seorang anak bergaya hidup mewah di kota, sementara di kampung, orangtuanya setengah mati membanting tulang. Ketika kita gagal memberikan perhatian dan cinta yang pantas kepada orangtua dan keluarga kita, dan malah lebih senang melihat mereka menderita.

Kalau dahulu perasaan cinta Petrus kalah di hadapan ketakutannya sendiri, sekarang cinta kita kepada Yesus mungkin telah kalah di hadapan kepentingan ekonomi yang membuat kita mengabaikan misa pada hari Minggu; kalah dengan hiburan televisi yang membuat kita tidak ikut katorde di basis; atau kalah dengan sinetron alay yang membuat kita lupa doa bersama dalam keluarga. Dalam doa Bapa Kami, kita selalu mengatakan, ‘berilah kami rezeki pada hari ini’. Ketahuilah, rezeki pertama-tama seorang Katolik, bukan hanya makanan yang kita santap setiap hari di meja makan, tetapi terutama Tubuh Kristus sendiri.

Ketika kita memilih tidak ke Gereja pada hari Minggu, pada saat itu, sebenarnya kita telah menolak menerima rezeki utama yang disiapkan Tuhan bagi kita yakni tubuhNya sendiri. Terimalah terlebih dahulu rezeki yang disiapkan Tuhan bagimu pada hari Minggu, dan dengan berbekal rezeki itu, engkau akan kuat memperjuangkan rezeki jasmanimu selama seminggu itu.

Ketiga, hati Simon dari Kirene. Di Yerusalem, dalam perjalanan menuju Golgota, Yesus mendapati bahwa yang tergerak hati untuk membantuNya, bukanlah para murid, bukan sanak-saudaraNya, juga bukan orang-orang yang telah ia tolong, melainkan seorang asing dari Kirene bernama Simon. Di Yerusalem, Yesus mendapati banyak orang meratapi penderitaanNya, namun hanya Simon satu-satunya yang tergerak untuk membantu.

Pengalaman Yesus ini barangkali juga adalah pengalaman kita masing-masing: ketika yang lebih cepat menolong kita seringkali adalah orang lain, dan bukan keluarga kita; atau pada sisi lain, ketika kita cenderung lebih tergerak untuk membantu orang lain, dan acapkali sulit atau penuh pertimbangan, ketika mau membantu keluarga sendiri. Acapkali kita lebih fokus pada orang-orang yang baru kita jumpai di dunia maya, dan mengabaikan orang-orang yang kita jumpai setiap hari di dunia nyata, termasuk mengabaikan keluarga sendiri.

Mari kita saling berbagi kasih dan perhatian. Yesus memasuki Yerusalem pada Minggu Palma, dan selama pekan suci ini juga, IA akan terus memasuki Yerusalem hati kita masing-masing. Di sana IA akan memeriksa: entahkah hati kita sama dengan hati Simon dari Kirene, atau malah lebih banyak menyerupai hati Petrus dan hati Yudas? Mari kita memasuki ruang hati kita masing-masing.* 

Add Comment

Centang kotak Notify Me agar mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.


©2020 — NUSA PAGI